Bisnis.com, JAKARTA - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengungkapkan nasib terkini dari alat-alat penelitian milik Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman dan lembaga penelitian lain yang resmi dilebur ke BRIN sejak 1 September 2021.
Koordinator Pengembangan Riset berbasis Cryo-EM BRIN Sandi Sufiandi memastikan bahwa pemindahan alat penelitian dari beberapa lembaga penelitian sebelumnya berjalan dengan lancar.
Proses pemindahan, ujarnya, diawali dengan pencatatan alat penelitian sesuai dengan kode yang dimilikinya. Kemudian, BRIN akan memetakan alat mana saja yang perlu dipindahkan dan masih harus ditaruh di Gedung Eijkman yang lama.
Contohnya adalah alat untuk mendeteksi virus yang sampai saat ini masih berada di gedung lama Eijkman karena memang masih dibutuhkan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI.
Sedangkan contoh alat penelitian milik Eijkman yang saat ini telah dipindah ke Laboratorium Genomik BRIN adalah alat Whole Genome Sequencing (WGS) yang berfungsi untuk menemukan informasi tingkat tinggi tentang varian bakteri atau organisme tertentu dengan satu kali pemeriksaan.
“Kita maping semuanya karena cukup masif, itu membutuhkan waktu yang cukup lama. Karena milik negara jadi harus dicatat dan pertanggungjawabannya harus jelas,” katanya di KST Soekarno, Cibinong dikutip Rabu (28/6/2023).
Baca Juga
Seperti diketahui, Eijkman merupakan lembaga pemerintah yang bergerak di bidang biologi molekuler dan bioteknologi kedokteran.
Sebelumnya, lembaga penelitian ini bekerja di bawah naungan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi RI, yang kini telah berubah nama menjadi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek).
Adapun, Eijkman resmi dilebur ke Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) sejak 1 September 2021.
Saat pertama kali didirikan, lembaga riset ini bernama Central Geneeskundig Laboratorium atau Laboratorium Pusat Kesehatan Masyarakat di area Rumah Sakit Militer Hindia Beland, yang saat ini dikenal sebagai RS Gatot Subroto di Jakarta Pusat.
Penamaan itu diambil dari nama dokter sekaligus peneliti asal Belanda, Christiaan Eijkman yang menjadi penerima penghargaan Nobel di bidang kedokteran pada 1929 silam.
Namun, akibat pergolajan politik dan ekonomi di Indonesia, lembaga riset ini harus digabungkan dengan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada sekitar 1960-an.
Eijkman mulai memperbaiki nasibnya pada Desember 1990. Lembaga ini pun kemudian resmi dihidupkan kembali oleh mantan Presiden RI ke-3 B.J. Habibie yang kala itu menjabat sebagai Menteri Riset dan Teknologi pada Juli 1992.