Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Babak Baru Polemik Pemilu Terbuka Vs Tertutup: DPR Ancam Anggaran MK!

Polemik sistem pemilu memasuki babak baru. elapan dari sembilan fraksi di DPR RI mengancam anggaran MK.
Gedung Mahkamah Konstitusi RI di Jakarta pada malam hari. -Bisnis.com/Samdysara Saragih
Gedung Mahkamah Konstitusi RI di Jakarta pada malam hari. -Bisnis.com/Samdysara Saragih

Bisnis.com, JAKARTA – Polemik sistem pemilu memasuki babak baru. Kini, delapan dari sembilan fraksi partai politik (parpol) di DPR RI mengancam akan gunakan wewenang budgeting atau penganggaran ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Dalam waktu dekat, MK memang akan memutuskan perkara uji materi sistem pemilu. Belakangan, MK diisukan akan menerima gugatan untuk penerapan sistem pemilu proporsional tertutup, bukan terbuka seperti yang berlaku sekarang.

Menanggapi isu tersebut, delapan fraksi parpol parlemen melakukan pertemuan di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat pada Selasa (30/5/2023). Hasilnya mereka sepakat untuk meminta MK agar tak mengubah sistem pemilu.

Delapan fraksi itu adalah Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai NasDem, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Artinya, hanya PDI Perjuangan (PDIP) parpol perlemen yang tak ikut karena dukung penerapan sistem pemilu proporsional tertutup.

"Kita bertemu, membahas, ya kan ini menghangat lagi nih soal isu [sistem pemilu] terbuka-tertutup kan. Saudara Denny Indrayana mendapatkan informasi katanya Hakim Konstitusi sudah memutuskan gitu. Nah makannya kami tadi kumpul," ujar Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia Tandjung di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (30/5/2023).

Dia menjelaskan, setidaknya ada empat pertimbangan objektif yang harus diperhitungkan MK. Pertama, MK sudah pernah memutuskan sistem pemilu proporsional terbuka yang sesuai konstitusi pada 2008.

Kedua, kini tahapan pemilu sudah sampai tengah jalan. Ketiga, putusan pemilu tertutup akan membuat pembuat undang-undang sulit merumuskan sistem yang lebih baik karena salah satu sistem sudah dianggap tak konstitusional.

Keempat, banyak pasal yang akan berdampak apabila sistem pemilu ditetapkan menjadi proporsional tertutup sementara pencoblosan tinggal beberapa bulan lagi.

Sementara itu, perwakilan fraksi Partai Gerindra DPR Habiburokhman mengatakan jika MK tak mengindahkan suara mayoritas fraksi di parlemen maka pihaknya juga akan menggunakan kewenangan budgeting atau penganggaran ke MK.

"Apabila MK berkeras untuk memutus ini [sistem pemilu proporsional tertutup], kami juga akan menggunakan kewenangan kami, begitu juga dalam konteks budgeting," ujar Habiburokhman dalam konferensi pers delapan fraksi parpol DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (30/5/2023).

Dia mengaku bukan ingin mengadu kekuasaan DPR dengan MK. Meski begitu, anggota Komisi III DPR ini ingin menyatakan pihaknya juga punya kewenangan yang tak boleh diremehkan.

"Jadi kita tidak akan saling memamerkan kekuasaan, cuma kita juga akan mengingatkan bahwa kami ini legislatif juga punya kewenangan," jelasnya.

Habiburokhman menambahkan, saat ini Komisi III sedang melakukan revisi UU MK. Oleh sebab itu, dia menyatakan ingin memperbaiki batasan aturan yang boleh diputuskan oleh MK.

"Kalau perlu Undang-undang MK kita ubah. Kalau perlu wewenangnya kita cabut. Akan kita perbaiki supaya tidak terjadi lagi," ungkapnya.

Saat dihubungi untuk dimintai keterangan, Juru Bicara MK Fajar Laksono mengatakan tak mau mengomentari ‘ancaman’ delapan fraksi DPR itu.

Sebelumnya, Fajar telah membantah bahwa MK sudah memutuskan perkara sistem pemilu. Dia menjelaskan agenda persidangan serta pengambilan keputusan oleh Hakim Konstitusi belum akan dilakukan.

"Yang pasti, sesuai agenda persidangan terakhir kemarin, 31 Mei mendatang penyerahan kesimpulan para pihak. Setelah itu, perkara baru akan dibahas dan diambil keputusan oleh Majelis Hakim dalam RPH," ucap Juru Bicara MK Fajar Laksono kepada Bisnis, Senin (29/5/2023).

Setelah itu, lanjut Fajar, agenda sidang pembacaan putusan baru akan dilakukan setelah putusan sudah disiapkan. "Selanjutnya, sesudah putusan siap, akan diagendakan sidang pengucapan putusan. Begitu alurnya," terangnya.

PDIP Tak Gentar

Meski diserbu oleh delapan parpol parlemen lainnya, PDIP tetap menegaskan ingin sistem pemilu kembali menjadi tertutup.

Sekretaris Jenderal DPP PDIP Hasto Kristiyanto berpendapat, sistem pemilu tertutup akan membuat partai politik mengedepankan kualitas kader untuk maju sebagai wakil rakyat. Dia mencontohkan berbagai kader PDIP yang pernah jadi anggota DPR.

"PDI Perjuangan ini lahir sebagai partai yang mempersiapkan calon-calon pemimpin melalui proses kaderisasi kepemimpinannya dengan baik sehingga Pak Ahmad Basarah, Pak Bambang Pacul, Mas Pramono Anung, Pak Ganjar, seluruh tokoh-tokoh yang muncul itu lahir dari proporsional tertutup yang mengedepankan aspek-aspek kualitas," jelas Hasto di Kantor DPP PDIP, Jakarta Pusat, Senin (29/5/2023).

Sedangkan dalam sistem pemilu terbuka, Hasto melihat para partai politik akan cenderung mengedepankan kadernya yang punya popularitas untuk maju di pemilihan legislatif (pileg). Dengan begitu, kualitas dinomorduakan.

"Kami tidak ingin tersandera kapitalisasi di dalam pemilu yang terbuka, yang memang sangat liberal, sangat kapitalistik, yang memang ujungnya sangat [mementingkan] popularitas, yang berbiayanya mahal," ujarnya.

Sistem Terbuka Vs Tertutup

Lalu, pertanyaan satu juta dolarnya: apa untung-rugi sistem pemilu proporsional terbuka vs tertutup?

Sederhananya, dalam sistem pemilu proporsional tertutup masyarakat tak memilih wakil rakyatnya di DPR dan DPRD. Lewat pemilu sistem ini, pemilih hanya mencoblos parpol. Nantinya, parpol itu yang menentukan kadernya yang akan menduduki kursi DPR dan DPRD.

Sebaliknya, proporsional terbuka merupakan sistem pemilu yang dipraktikkan dalam tiga pemilu belakangan. Lewat sistem ini masyarakat dapat mencoblos langsung wakil rakyatnya yang dirasa dapat mewakili mereka jadi legislator di tingkat pusat maupun daerah.

Peneliti politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Aisah Putri Budiarti mengatakan masing-masing sistem memang memiliki kelebihan dan kekurangannya tersendiri.

Untuk sistem pemilu proporsional tertutup, Aisah berpendapat mampu menguatkan fungsi dan peran parpol. Parpol punya kewenangan memilih kadernya yang duduk di kursi parlemen. Idealnya, kader yang dianggap loyal dan sudah teruji kinerjanya di luar dan dalam partai berpeluang besar dipilih.

“Sehingga ikatan kader terhadap partainya lebih kuat, kader lebih solid menjalankan visi-misi-program partai, dan kader yang terpilih menjadi anggota dewan sudah memiliki pengalaman berpolitik,” jelas Aisah kepada Bisnis, Senin (9/1/2023).

Di sisi lain, hubungan antara anggota dewan dengan konstituen atau warga yang dia wakili jadi berjarak. Sebab, rakyat bukan lagi penentu kunci siapa yang duduk di kursi parlemen.

Tak hanya itu, dengan sistem itu Aisah menilai calon legislatif dan anggota dewan hanya akan memiliki kemampuan lebih terbatas untuk mengembangkan program kerja terkait kepentingan spesifik konstituennya.

Sebaliknya, untuk sistem pemilu proporsional terbuka, calon legislatif atau anggota dewan memiliki kedekatan langsung dengan konstituennya. Idealnya, rakyat bisa menyampaikan kebutuhan dan kepentingannya secara langsung.

“Kekuatan politik langsung dimiliki oleh pemilih karena individu voter yang langsung menentukan siapa representasi mereka,” jelas Aisah.

Calon legislatif juga dapat secara langsung menyampaikan visi-misi, serta mengeksplorasi dan mengembangkan program kerja yang lebih fleksibel meski tetap ikut garis besar visi-misi partai.

Di sisi lain, fungsi parpol dalam menentukan kadernya di DPR dan DPRD sangat minim. Akibatnya, proses kaderisasi partai lemah. Parpol lebih sering melewati jalur tikus: memilih calon legislatif dari tokoh publik populer yang rendah pengalaman berpolitik dan berpartai.

Lebih jauh, Aisah berpendapat jika PDIP ataupun pihak lainnya ingin benar-benar membenahi sistem pemilu maka pilihannya bukan hanya mengubahnya dari sistem terbuka menjadi tertutup.

Dia mengakui, banyak yang harus diperbaiki dalam sistem pemilu Indonesia sekarang ini. Oleh sebab itu, perbaikannya harus secara menyeluruh.

"Melihat sistem pemilu seharusnya tidak sepenggal hanya pada satu elemen sistem pemilu, tapi secara komprehensif sistem pemilunya dan bahkan terkait dengan sistem kepartaian, presidensial, dan parlemen," ujar mantan periset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) itu.

Aisah lebih merekomendasikan parlemen dan pemerintah melakukan evaluasi sistem pemilu lewat revisi UU Pemilu.

"Catatan hasil riset LIPI dahulu, sistem pemilu kita banyak yang patut dievaluasi ulang dan bahkan direvisi, misalnya terkait presidential threshold, skema pemilu serentak, luasan dapil, dan lainnya," ungkapnya.

Dia berpendapat jika ada pihak yang coba merevisi suatu sistem pemilu secara sepenggal-penggal, publik malah hanya akan mengira ada maksud lain dari upaya revisi itu.

“Melihat sepenggal-sepenggal dan merevisi satu elemen sistem pemilu hanya akan membentuk image publik bahwa partai tidak serius menguatkan demokrasi dan tebang pilih pada hal yang membawa untung-rugi partai saja,” jelas Aisah.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper