Bisnis.com, JAKARTA -- Financial Action Task Force (FATF) menyebut bahwa Indonesia telah memiliki kerangka hukum yang kuat untuk mengatasi pencucian uang dan pendanaan terorisme, sekaligus memanfaatkan intelijen keuangan serta kerja sama domestik dan internasional dengan baik.
Hal itu diungkapkan FATF usai melakukan penilaian terhadap kinerja Indonesia dalam menangani pencucian uang dan pendanaan terorisme. Penilaian itu sejalan dengan permohonan keanggotaan FATF oleh Indonesia.
"Indonesia perlu lebih fokus pada peningkatan pemulihan aset, pengawasan berbasis risiko, dan sanksi yang proporsional dan disuasif," demikian dikutip dari situs resmi FATF, Selasa (2/5/2023).
Kendati demikian, FATF juga memaparkan bahwa risiko tindak pidana pencucian uang di Indonesia berasal dari kejahatan dalam negeri seperti korupsi, narkotika, kejahatan perpajakan, serta kejahatan kehutanan.
Di samping itu, badan antarpemerintah itu juga menilai Indonesia berisiko tinggi atas tindak pidana pendanaan terorisme.
"Negara ini menghadapi risiko pendanaan terorisme yang tinggi karena kehadiran organisasi teroris dan pendukungnya di negara tersebut," demikian dikutip oleh Bisnis.
Baca Juga
Adapun terdapat beberapa evaluasi utama terhadap Indonesia dari FATF. Indonesia dinilai memiliki pemahaman yang baik tentang risiko yang dihadapi dan telah mengembangkan kebijakan dan strategi berbasis risiko untuk memitigasinya.
Hal tersebut termasuk koordinasi dan kerja sama antarlembaga domestik yang kuat. Indonesia juga disebut menunjukkan hasil yang baik dalam kerja sama internasional, khususnya kerja sama informal dalam kasus-kasus terorisme dan pendanaan terorisme yang sensitif terhadap waktu.
Dari sisi kelembagaan, FATF menilai tiga otoritas pengawas keuangan utama Indonesia secara proaktif mengembangkan kerangka kerja anti pencucian yang dan pendanaan terorisme atau anti-money laundering and counter-terrorism financing (AML/CTF).
Bank, lembaga keuangan yang lebih besar, dan penyedia layanan aset virtual di Indonesia disebut memiliki pemahaman yang baik tentang risiko yang mereka hadapi, namun pemahaman tersebut lebih bervariasi di sektor lain.
Di sisi lain, Indonesia dipandang perlu meningkatkan pengawasan berbasis risiko, khususnya terhadap penukaran uang atau money changer, layanan transfer uang atau nilai, dan sektor nonkeuangan serta menerapkan sanksi yang efektif dan bersifat dissuasif di semua sektor.
"Indonesia juga harus memastikan bahwa informasi yang akurat tentang pemilik akhir semua perusahaan tersedia bagi penegak hukum," demikian dikutip dari penilaian FATF.
Adapun unit intelijen keuangan Indonesia, dalam hal ini Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPTAK), dinilai sudah menyediakan intelijen keuangan berkualitas tinggi, tepat waktu dan terarah kepada penegak hukum untuk digunakan dalam penyelidikan pencucian uang, pendanaan terorisme, dan pelanggaran lainnya.
Namun demikian, Indonesia dinilai masih harus meningkatkan penyelidikan dan penuntutan berbagai jenis kegiatan pencucian uang . Tidak sampai di situ, aparat penegak hukum di dalam negeri juga harus memastikan keberhasilan dalam merampas hasil kejahatan para pelaku pidana pencucian uang, terutama aset yang berlokasi di luar negeri atau aset dari kejahatan kehutanan atau lingkungan.
Berdasarkan penilaian FATF juga, Indonesia berhasil mendeteksi, menginvestigasi, dan menuntut pendanaan teroris sesuai dengan profil risikonya. Strategi pemerintah dan aparat penegak hukum disebut sudah mencakup fokus untuk mengembalikan pelaku teroris asing dan upaya deradikalisasi terhadap mereka.
"Namun, Indonesia harus meningkatkan pemahamannya tentang risiko penyalahgunaan sektor nirlaba untuk pendanaan terorisme dan mengambil langkah-langkah yang proporsional tanpa mengecilkan atau mengganggu kegiatan amal yang sah," demikian dikutip Bisnis.
Pada akhirnya, Indonesia dinilai telah mengambil langkah-langkah untuk mengatasi kekurangan dalam kerangka hukum mereka dalma rangka bergabung ke FATF. Namun demikian, masih ada beberapa celah yang dinilai perlu diisi.