Jokowi dan PDIP Jadi Kunci
Seperti diketahui, PDIP telah menyatakan bersedia bergabung dalam koalisi besar. Puan mengatakan PDIP akan menyambut koalisi itu jika untuk menjadikan Indonesia lebih baik.
“Koalisi bisa terbentuk jika visi dan misi atau aspirasi semua orang sama dan bisa dijalankan.
“Jadi ya, saya mendukung jika memang dilakukan dengan cita-cita, visi, dan misi yang sama untuk Indonesia,” ujarnya pada 4 April lalu.
Awal pekan ini, Prabowo mengatakan akan segera bertemu dengan Puan. Dia juga mengatakan terbuka terhadap gagasan PDIP bergabung dengan koalisi besar.
Pada Senin (10/4/2023), Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto bertemu dengan Ketua Umum Partai Perindo Hary Tanoesoedibjo yang merupakan pengusaha dan pengusaha media. Perindo saat ini bukan anggota parlemen, namun telah memenuhi kriteria untuk ikut dalam pemilu mendatang.
Berbicara kepada wartawan seusai pertemuan, Airlangga mengatakan koalisi besar terbuka untuk semua pihak. Tapi kalau PDIP mau bergabung, harus ada pembicaraan dulu, katanya.
Airlangga juga bertemu dengan Prabowo pada Selasa (11/4/2023). Dia kemudian mengatakan: “Unsur dari koalisi besar ini adalah KIB dan KKIR, maka wajar jika Prabowo sebagai pimpinan KKIR dan saya dari Golkar mewakili KIB terus berkomunikasi untuk membangun soliditas koalisi besar.”
Namun, PDIP yang akan menjadi faktor krusial dalam pembentukan koalisi besar tersebut, menurut Dosen Politik Aditya Perdana dari Universitas Indonesia.
“Tergantung siapa yang ingin dicalonkan PDIP. Tentu saja, jika calonnya Ganjar (Pranowo), mungkin ini akan menarik pihak lain, tapi kalau bukan Ganjar, seperti Puan (Maharani), mungkin ini akan agak sulit,” ujarnya.
Dia menambahkan, Jokowi juga akan menjadi pemain kunci meski lengser dari kursi presiden.
“Jokowi dan Megawati memiliki pandangan berbeda tentang capres. Jadi koalisi ini hanya bisa terjadi dan efektif jika PDIP dan Jokowi bisa memiliki pandangan yang sama tentang siapa yang dicalonkan sebagai capres.”
“Kalau PDIP tidak masuk koalisi, bisa ada tiga koalisi besar: PDIP, koalisi besar yang dibicarakan orang, dan koalisi NasDem,” ujarnya.
Adi Prayitno, Dosen Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, menilai koalisi besar akan sulit menentukan siapa yang akan menjadi capres dan cawapres.
“Menyatukan begitu banyak kepentingan partai dalam sebuah koalisi besar bukanlah perkara mudah. Selain itu, begitu banyak elite dan pemimpin partai yang banyak mendorong pencalonan mereka.”
“Misalnya, Gerindra tidak bisa hanya jadi nomor dua. Prabowo adalah calon presiden tetapnya. Begitu juga dengan Airlangga,” tukasnya.
Pada akhirnya, mereka harus memilih sosok yang lebih kuat. “Koalisi besar terlihat besar, kuat dan solid. Tapi percuma kalau capresnya bukan sosok yang kuat.”