Beda Data Mahfud Vs Sri Mulyani
Komisi III mengeluhkan beda penyajian data yang disampaikan oleh Mahfud dan Sri Mulyani. Sebelum rapat Komisi III, Sri Mulyani telah duluan menyampaikan secara detil kronologi 300 laporan transaksi mencurigakan senilai Rp349 triliun di kementeriannya kepada Komisi XI.
Mantan Menkeu era Presiden SBY itu menerima surat terkait dengan Laporan Hasil Analisis (LHA) transaksi Rp349 triliun itu dari PPATK pada 9 Maret 2023. Itu sehari setelah Mahfud membeberkan adanya transaksi mencurigakan senilai Rp300 triliun di Kemenkeu (lalu berubah jadi Rp349 triliun).
Isinya, terdapat 196 surat-surat PPATK ke Itjen Kemenkeu selama 2009-2023 yang dilampirkan dalam 36 halaman lampiran. Namun, surat itu tidak berisi data mengenai nilai uang yang dimaksud Mahfud dan Ketua PPATK.
Kemenkeu lalu baru menerima surat dari PPATK berisi data mengenai transaksi Rp349 triliun. Surat itu memiliki 43 halaman lampiran, yang berisi informasi terkait dengan 300 surat PPATK ke Kemenkeu.
Secara terperinci, dari 300 surat yang dikirim PPATK, 100 ternyata beralamat tujuan ke aparat penegak hukum, bukan ke Kemenkeu. Nilai transaksi yang tercantum dalam informasi surat itu yakni Rp74 triliun, selama periode 2009-2023.
Kemudian, 65 surat lainnya terkait dengan transaksi Rp253 triliun merupakan data dari transaksi debit dan kredit operasional perusahaan. Dia mengatakan transaksi itu tidak ada hubungannya dengan pegawai Kemenkeu, namun berkaitan dengan fungsi Ditjen Pajak dan Ditjen Bea Cukai.
Selanjutnya, tercantum pada 135 surat informasi mengenai nilai transaksi Rp22 triliun. Sebanyak Rp18,7 triliun dari Rp22 triliun itu pun, lanjut Menkeu, berkaitan dengan transaksi korporasi yang tidak berhubungan dengan kepegawaian Kemenkeu.
"Jadi yang benar-benar berhubungan dengan pegawai kementerian itu Rp3,3 triliun. Ini 2009-2023, 15 tahun seluruh transaksi debit-kredit dari seluruh pegawai yang di-inquiry termasuk penghasilan resmi, transaksi dengan keluarga, jual-beli aset, dan jual beli rumah," ucapnya pada rapat bersama Komisi XI DPR, Senin (27/3/2023).
Kendati dasarnya sama, penyajian data yang disampaikan Mahfud berbeda dengan rekan menterinya. Adapun pada rapat Komisi III, Mahfud menyampaikan data agregat transaksi keuangan mencurigakan Rp349 triliun itu dibagi menjadi tiga kelompok.
Kelompok pertama, kata Mahfud, yakni transaksi yang berkaitan dengan pegawai Kemenkeu dengan nilai Rp35 triliun. Angka yang disampaikan Mahfud itu hampir 10 kali lipat dari yang disampaikan oleh Sri Mulyani.
"Kemarin Ibu Sri Mulyani di Komisi XI menyebut hanya Rp3 triliun, yang benar Rp35 triliun," ucap Mahfud.
Kemudian, transaksi mencurigakan diduga melibatkan pegawai Kemenkeu dan pihak lain mencapai Rp53 triliun, serta transaksi mencurigakan terkait dengan kewenangan Kemenkeu sebagai penyidik tindak pidana asal (TPA) dan TPPU mencapai Rp260 triliun.
Tidak hanya itu, dia menyebut ada 491 orang pegawai Kemenkeu yang terlibat dalam transaksi mencurigakan tersebut.
Impor Emas dan Ketidaktahuan Sri Mulyani
Mahfud menyebut bahwa ada pihak-pihak yang sengaja tidak memberikan informasi lengkap mengenai laporan PPATK yang masuk ke Kemenkeu. Hal itu, lanjutnya, membuat Menkeu tak tahu-menahu soal transaksi mencurigakan tersebut.
"Kesimpulan saya Bu Sri Mulyani tidak punya akses terhadap laporan-laporan ini, sehingga keterangan di Komisi XI jauh dari fakta. Bukan dia menipu, dia diberi data soal pajak, padahal itu [laporan transaksi mencurigakan terkait] bea cukai," terangnya.
Mahfud mencontohkan satu dari 300 laporan transaksi mencurigakan yang transaksinya mencapai Rp189 triliun. Dia menceritakan bahwa pada saat pertemuan antara PPATK dan Kemenkeu, Sri Mulyani mengaku tidak tahu adanya laporan transaksi mencurigakan senilai ratusan triliun itu.
Transaksi Rp189 triliun itu, terang Mahfud, berkaitan dengan dugaan pencucian uang pada sektor bea cukai dengan 15 entitas terlapor.
"Laporannya tetapi jadi pajak. Sehingga kita teliti, ini perusahannya banyak. Padahal ini bea cukai laporannya terkait dengan impor emas," ujarnya pada rapat Komisi III itu.
Pria yang berlatar belakang akademisi itu bahkan langsung membeberkan adanya dugaan penyelundupan impor emas batangan, yang dicatat sebagai emas mentah. Dugaan itu langsung diselidiki oleh PPATK.
"Ini emas sudah jadi kok bilangnya mentah. Katanya dicetak di Surabaya, tetapi tidak ada pabriknya," ungkapnya.