Bisnis.com, JAKARTA - Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) tetap melakukan proses diversi terhadap anak AG yang terlibat dalam kasus penganiayaan David Ozora, meskipun ayah David, Jonathan Latumahina menolaknya.
Jonathan tidak akan memberi maaf kepada para pelaku penganiayaan anaknya, yaitu Mario Dandy cs.
Dalam akun Twitter pribadinya (@Seexsiksuck), dia mengatakan bahwa tidak akan memaafkan pelaku, karena kelak maaf tersebut akan meringankan hukuman mereka.
“Pada hari ke 30 ini, ular-ular beludak itu mau pakai permaafan saya untuk meringankan mereka kelak. Saya tarik ucapan itu," tulis Jonathan pada, Rabu (22/3/2023) malam.
Pejabat Humas PN Jaksel Djuyamto mengatakan bahwa proses diversi tetap akan dilakukan. Jika pihak David menolak proses tersebut, nantinya harus disampaikan saat musyawarah.
“Pernyataan tersebut (penolakan diversi) nanti bisa disampaikan dalam musyawarah diversi tanggal 29 Maret,” kata Djuyamto kepada wartawan, Selasa (28/3/2023).
Baca Juga
Apa itu diversi?
Mengutip penjelasan Dr Ridwan Mansyur SH MH pada laman mahkamahagung.go.id pada Selasa (28/3/2023), sesuai dengan ketentuan Konvensi Hak Anak yang diratifikasi pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990, kemudian dituangkan dalam Undang - Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dan Undang - Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), maka prinsip-prinsip umum perlindungan anak, yaitu nondiskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang dan menghargai partisipasi anak diterapkan terhadap anak yang berhadapan dengann hukum (ABH).
Adapun, AG yang berstatus ABH masih berusia 15 tahun, sehingga persidangan menerapkan Sistem Peradilan Pidana Anak.
Ridwan menjelaskan, perlindungan hukum bagi anak dapat dilakukan sebagai upaya perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak. Perlindungan terhadap anak ini juga mencakup kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan anak.
Perlindungan ABH, merupakan tanggung jawab bersama aparat penegak hukum. Tidak hanya anak sebagai pelaku, namun mencakup juga anak yang sebagai korban dan saksi.
Aparat penegak hukum yang terlibat dalam penanganan ABH agar tidak hanya mengacu pada Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Sistem Peradilan Pidana Anak atau peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan penanganan ABH, namun lebih mengutamakan perdamaian daripada proses hukum formal yang mulai diberlakukan 2 tahun setelah UU SPPA diundangkan atau 1 Agustus 2014 (Pasal 108 UU No. 11 Tahun 2012).
Menurut UU SPPA, diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidanayang bertujuan untuk:
- Mencapai perdamaian antara korban dan anak
- Menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan
- Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan
- Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi
- Menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak
Menurut PERMA 4 tahun 2014, musyawarah diversi adalah musyawarah antara pihak yang melibatkan anak dan orang tua/wali, korban dan/atau orang tua/walinya, pembimbing kemasyarakatan, pekerja sosial profesional, perawakilan dan pihak-pihak yang terlibat lainnya untuk mencapai kesepakatan diversi melalui pendekatan keadilan restoratif.
Sedangkan, fasilitator adalah hakim yang ditunjuk oleh ketua pengadilan untuk menangani perkara anak yang bersangkutan.
Diversi adalah pengalihan proses pada sistem penyelesaian perkara anak yang panjang dan sangat kaku. Mediasi atau dialog atau musyawarah sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam diversi untuk mencapai keadilan restoratif.
Penghukuman bagi pelaku tindak pidana anak tidak kemudian mencapai keadilan bagi korban, mengingat dari sisi lain masih meninggalkan permasalahan tersendiri yang tidak terselesaikan meskipun pelaku telah dihukum.
“Melihat prinsip prinsip tentang perlindungan anak terutama prinsip mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak, maka diperlukan proses penyelesaian perkara anak diluar mekanisme pidana atau biasa disebut diversi,” jelas Ridwan.
Hukuman Bukan Selesaikan Masalah
Dikatakan, institusi penghukuman bukanlah jalan untuk menyelesaikan permasalahan anak karena justru di dalamnya rawan terjadi pelanggaran-pelanggaran terhadap hak anak.
Oleh karena itu, dibutuhkan suatu acara dan prosedur di dalam sistem yang dapat mengakomodasi penyelesaian perkara yang salah satunya adalah menggunakan pendekatan keadilan restoratif, melalui suatu pembaharuan hukum yang tidak sekedar mengubah undang-undang semata, tetapi juga memodifikasi sistem peradilan pidana yang ada, sehingga semua tujuan yang di kehendaki oleh hukum tercapai.
Dijelaskan, salah satu bentuk mekanisme restoratif justice tersebut adalah dialog yang di kalangan masyarakat Indonesia lebih dikenal dengan sebutan "musyawarah untuk mufakat”.
“Sehingga diversi khususnya melalui konsep restoratif justice menjadi suatu pertimbangan yang sangat penting dalam menyelesaikan perkara pidana yang dilakukan oleh anak,” tukasnya.
Jika kesepakan diversi tidak dilaksanakan sepenuhnya oleh para pihak berdasarkan laporan dari Pembimbing Kemasyarakatan Balai Pemasyarakatan, maka hakim melanjutkan pemeriksaan perkara sesuai dengan sesuai dengan Hukum Acara Peradilan Pidana Anak.
Hakim, ujarnya, dalam menjatuhkan putusannya wajib mempertimbangkan pelaksanaan sebagian kesepakatan diversi.
Dalam PERMA 4 tahun 2014 dijelaskan, bahwa Diversi diberlakukan terhadap anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah berumur 12 (dua belas) tahun meskipun pernah kawin tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun, yang diduga melakukan tindak pidana (pasal 2).
PERMA ini juga mengatur tahapan musyawarah diversi, fasilitor ditunjuk ketua pengadilan wajib memberikan kesempatan kepada:
- Anak untuk didengar keterangan perihal dakwaan
- Orang tua/wali untuk menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan perbuatan anak dan bentuk penyelesaian yang diharapkan
- Korban/anak korban/orang tua/wali untuk memberikan tanggapan dan bentuk penyelesaian yang diharapkan.
Bila dipandang perlu, fasilitator diversi dapat memanggil perwakilan masyarakat maupun pihak lain untuk memberikan informasi untuk mendukung penyelesaian dan/atau dapat melakukan pertemuan terpisah (kaukus).
Kaukus adalah pertemuan terpisah antara Fasilitator Diversi dengan salah satu pihak yang diketahui oleh pihak lainnya.