Bisnis.com, JAKARTA- Pemerintah mesti menjadi penjaga aturan main di jagad maya untuk menangkal penyebaran ujaran kebencian.
Rektor Universitas Paramadina Didik J. Rachbini mengatakan bahwa ujaran kebencian dinilai bakal masif terjadi menjelang pelaksanaan pemilihan umum (Pemilu) 2024. Jagad maya saat ini, tuturnya, menjadi sebuah wilayah besar, rumit, dan arus informasi yang tidak ada aturan di dalamnya.
“Inilah metamorfosa kondisi jagad maya saat ini, yang berpengaruh terhadap dunia nyata. Dunia nyata kemudian rusak seperti cerpen Robohnya Surau Kami karya Ali Akbar Navis. Jagad maya sebagai lingkungan masyarakat yang tidak lagi peduli dengan Surau, dalam hal ini adalah aturan dan tatanan agama, sehingga masyarakat di jagad maya hidup tanpa aturan,” ujarnya, Sabtu (4/3/2023).
Dari waktu ke waktu, tuturnya, jagad maya yang dipenuhi oleh ujaan kebencian, sumpah serapah, hoaks, permusuhan dan sebagainya menyebabkan tatanan, institusi, etika, budaya masyarakat di dunia nyata hancur.
Didik melanjutkan, pemerintah dan aparat negara di dalam kondisi genting seperti ini perlu menjadi penjaga atauran main, tiang institusi dan teladan dalam perilaku di jagad maya, bukan sebaliknya terlibat di dalam kerusakan tatanan tersebut karena berpihak di dalam polarisasi.
“Selama ini ada indikasi pemerintah dan aparat negara juga terlibat dalam masalah ini sehingga bukan hanya sistem sosial politik di jagat maya tidak ada yang menjaga tetapi justru menjadikan dan menambah keadaan semakin runyam,” terangnya.
Baca Juga
Menurutnya, jika penyelenggara negara tidak bisa menjadi teladan dan menjadi dirigen dalam ujaran kebencian maka penyebaran ujaran kebencian akan semakin menjadi. Di sinilah titik kritik dari masalah ini tergantung kepada pemerintah dan aparat apakah akan menjadi bagian utama dari pilar solusi atau menjadi bagian dari masalah itu sendiri.
Husni Mubarok, pengajar di Universitas Paramadina mengatakan, ujaran kebencian perlu diwaspadai karena ada banyak sejarah bencana kemanusiaaan dan pelanggaran HAM yang terjadi akibat adanya ujaran kebencian. Beberapa kasus yang patut dikemukakan, tuturnya seperti konflik etnis di Rwanda pada 1994, kerusuhan di Tanjung Balai pada 2016 akibat kebencian etnis, serta permainan politik identitas yang terkait dengan kontestasi Pilkada DKI 2017.
Menurutnya, ujaran kebencian yang muncul terjadi karena 2 faktor yaitu histori konflik dan memori kekerasan yang pernah terjadi di suatu wilayah serta tidak adanya upaya mediasi serta kontra narasi yang kuat saat provokasi ujaran kebencian terjadi.
“Penanganan ujaran kebencian dapat dilakukan dengan tiga pendekatan yaitu secara moralitas, sanksi administratif hingga pidana bagi pelaku ujaran kebencian berat seperti hasutan dan provokasi yang mengarah pada kekerasan dan pelanggaran HAM. Adanya penegakan hukum yang proporsional akan membuat para pelaku ujaran kebencian tidak lagi sewenang-wenang dalam melakukan hasutan dan provokasi,” paparnya.
Di sisi lain, Husni juga memandang problem penindakan ujaran kebencian di Indonesia masih mengalami kesulitan karena penanganan ujaran kebencian seringkali berkaitan dengan kasus-kasus yang seharusnya tidak masuk ke ranah pidana seperti pencemaran nama baik, perbuatan tidak menyenangkan serta penistaaan yang bisa memunculkan multi interpretasi. Karena itu, penanganan ujaran kebencian tidak bisa serta merta diterapkan begitu saja oleh pemerintah karena peluang untuk terjadinya pemberangusan kebebasan ekspresi bisa saja terjadi.