Bisnis.com, JAKARTA - Partai sayap kanan Turki, IYI, mengatakan bahwa aliansi oposisi utama tidak lagi mencerminkan keinginan nasional, dan mengisyaratkan partainya menarik diri dari menjelang pemilihan umum (Pemilu) presiden dan parlemen pada 14 Mei 2023. Partai ini mengusung dua kandidat bakal calon presiden (capres) yang dinilai mampu bersaing dengan calon petahana Tayyip Erdogan.
Melansir Reuters, Sabtu (4/3/2023), Erdogan pada Rabu (1/3/2023), mengindikasikan bahwa pemilihan presiden dan parlemen akan diadakan pada 14 Mei. Jadwal itu berdasarkan pada rencana pemungutan suara sebelumnya, meskipun ada kritik atas lambannya respons pemerintah atas bencana gempa bumi dahyat pada 6 Februari 2023.
Berbicara di markas besar partai di Ankara, pemimpin Partai IYI Meral Aksener mengatakan lima partai lainnya dalam aliansi tersebut telah mengajukan Kemal Kilicdaroglu, Pemimpin Partai Rakyat Republik (CHP), sebagai calon presiden mereka.
Tetapi, partainya tidak dapat menerima dan mengusulkan Wali Kota Istanbul dan Ankara sebagai kandidat calon presiden, keduanya berasal dari CHP.
Akesener mengatakan jajak pendapat menunjukkan bahwa keduanya akan menang dengan selisih besar melawan Erdogan.
"Sampai kemarin, 'Table of Six' (partai oposisi) telah kehilangan kemampuan untuk mencerminkan keinginan rakyat dalam keputusannya," ujarnya, mengisyaratkan keluarnya partainya dari aliansi tersebut.
Baca Juga
"Ini bukan lagi sebuah platform kandidat potensial dapat didiskusikan, tetapi "meja" yang memberi cap pada satu kandidat," lanjutnya.
Aksener meminta Wali Kota Istanbul Ekrem Imamoglu dan Wali Kota Ankara Mansur Yavas untuk maju sebagai kandidat.
"Bangsa kita berada pada titik puncaknya, memanggilmu untuk bertugas," katanya.
Para pemimpin dari enam partai oposisi bertemu pada Kamis (2/3/2023), dengan harapan mereka akan menyepakati calon bersama, yang diperkirakan adalah Kilicdaroglu, tetapi laporan perselisihan di dalam partai semakin meningkat setelah pertemuan tersebut.
Oposisi telah gagal dalam pemungutan suara nasional sebelumnya dan menimbulkan tantangan serius bagi Erdogan, yang telah berkuasa selama dua dekade. Namun, popularitasnya menurun di tengah krisis biaya hidup bahkan sebelum gempa bumi dahsyat bulan Februari menewaskan sedikitnya 45.000 orang di Turki.