Bisnis.com, JAKARTA - Pertama, bagaimana Indonesia menciptakan masa depan di tengah situasi global yang penuh gejolak dan ketidakpastian, oleh Warren Bennis dan Burt Nanus (pakar ilmu bisnis dan kepemimpinan di Amerika), ditambahkan juga suasana yang serba kompleks dan ambigu.
Meminjam apa yang sering disampaikan Presiden Jokowi, bahwa dalam situasi sulit dan krisis kita tidak boleh melupakan agenda strategis untuk mempersiapkan sumber daya manusia khususnya pemuda sebagai tulang punggung bonus demografi.
Berdasarkan laporan Indeks Pembangunan Pemuda (IPP) 2021, Covid-19 sebagai faktor utama IPP 2015—2020 relatif stagnan. Tahun 2015—2019 terjadi peningkatan rata-rata 1% pertahun, lalu tahun 2020 turun lagi seperti tahun 2017—2018.
IPP untuk instrumen navigasi masa depan Indonesia perlu dilihat sebagai titik berangkat pembenahannya, mulai dari pendidikan; kesehatan dan kesejahteraan, lapangan dan kesempatan kerja, partisipasi dan kepemimpinan, hingga gender dan diskriminasi.
Kedua, menurut Sarjito berbagai institusi global meyakini pendulum kekuatan ekonomi global bergeser dari barat ke timur. Jika hari ini kita masih berada di peringkat 16, optimisme yang dibangun akan loncat ke posisi 4, setelah Tiongkok, Amerika Serikat, dan India.
Tentu ini menjadi tantangan tersendiri dengan melihat dibalik angka yang begitu menjanjikan, jumlah penduduk miskin Indonesia berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2022 adalah 26,16 juta jiwa dengan tingkat kemiskinan 9,54%.
Baca Juga
Lebih khusus lagi yang berkaitan dengan ketenagakerjaan pemuda, antara lain tingkat pengangguran pemuda (TPT) yang tinggi, bahkan lebih tinggi dari TPT nasional. Pada 2022, TPT pemuda sebesar 13,93%, sementara tingkat pengangguran nasional sebesar 5,86%.
Ini tantangan yang perlu dijawab secara bersama-sama oleh semua pihak, khususnya oleh pemuda itu sendiri.
Ketiga, yang menarik dari tulisan Sarjito, tentang kolaborasi filantropi dalam membangun sumber daya manusia butuh horizon panjang dan spektrum luas. Jangkauan tangan pemerintah yang terbatas sehingga dibutuhkan kolaborasi dan peran aktif berbagai pemangku kepentingan.
Ketika Merial Institute didirikan 2015, fokus isu yang diarusutamakan adalah tentang pemanfaatan bonus demografi dan pemberdayaan kelompok pemuda dengan berbagai latar belakang. Tidak hanya bergerak di hilir mendorong pemberdayaan, juga di hulu memastikan kebijakan pemerintah pro-pemuda.
Presiden Jokowi merespons dengan membuat Peraturan Presiden (Perpres) No. 66/2017 tentang Koordinasi Strategis Lintas Sektor Penyelenggaraan Pelayanan Kepemudaan lalu disempurnakan dengan Perpres No. 43/2022 di dalamnya memuat terkait efektivitas pelayanan kepemudaan, sinkronisasi dan harmonisasi program, dan kajian penyelenggaraan kepemudaan.
GOTONG ROYONG
Kolaborasi atau gotong royong, yang sejak dulu diperkenalkan oleh Bung Karno sebagai saripati Pancasila, inilah yang akan menjadi sebab utama dari keberhasilan pembangunan pemuda dan berakibat pada masa depan Indonesia yang lebih baik.
Pembangunan pemuda yang bersifat cross cutting dan cukup kompleks, dalam amanah Perpres 43/2022 melibatkan 31 kementerian koordinator dan teknis hingga lembaga, juga pemangku kepentingan lain seperti masyarakat sipil/organisasi kepemudaan, media/jurnalis, pengusaha, dan akademisi/kampus.
Di sinlah peran berbagai lembaga filantropi yang disebutkan Sarjito menemukan relevansinya. Pengembangan sumber daya manusia khususnya pemuda menjadi tugas secara bersama-sama dengan pemerintah dalam hal ini Kemenpora sebagai orkestrator.
Akhirnya, berbagai warisan Presiden Jokowi harus terus berlanjut, salah satunya dengan memberi kesempatan lebar bagi pemuda untuk berkontribusi yang nyata. Seperti yang hari ini terlihat, pemuda telah banyak diberi kesempatan sebagai Menteri, Staf Khusus, Kepala Daerah seperti Gubernur, Wali Kota, Bupati, anggota DPR, hingga Direksi/Komisaris BUMN.
Melihat hasil sensus penduduk BPS, jumlah milenial mencapai 25,87%, sentenial atau generasi Z 27,94%, dan post-gen Z 10,88%. Artinya jumlah mencapai 64,69% atau lebih dari separuh jumlah penduduk Indonesia. Saatnya terus mendukung dan memberdayakan agar pemuda tidak sekedar objek, juga sebagai subjek atau navigator masa depan Indonesia.