Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Apakah Warga Nahdliyin Harus Memilih PKB?

Mantan Ketua Umum PKB Alwi Shihab merasa warga NU seharusnya memilih PKB. Padahal Gus Yahya menekankan bahwa NU tidak akan terlibat politik praktis.
Suasana kemeriahan acara NU - Istimewa
Suasana kemeriahan acara NU - Istimewa

Bisnis.com, JAKARTA -- Sejak KH Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya menjabat sebagai Ketua Umum, PBNU menegaskan tidak akan terlibat dalam politik praktis.

Gus Yahya bahkan telah mengingatkan seluruh Pimpinan Cabang (PC) NU tetap netral menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Dia tidak akan menoleransi pengurusnya yang berpolitik dengan membawa nama organisasi.

"Kalau ada PCNU yang terlibat dan secara terang-terangan melakukan gerakan dukung-mendukung politik tertentu maka akan kami berikan surat peringatan tertulis," kata Gus Yahya beberapa waktu yang lampau.

Kendati demikian, dia membebaskan warga Nahdliyin untuk menyampaikan aspirasi politiknya, ke partai manapun dan ke siapapun. Tidak terkonsentrasi ke salah satu partai atau elite politik tertentu.

Nahdlatul Ulama (NU) ibarat sebuah kapal besar. Di dalam kapal tersebut terdapat banyak orang dengan latar belakang, cara pandang yang berbeda, tetapi sekaligus punya tujuan yang sama yakni mewujudkan Islam yang rahmatan lil alamin.

Dengan latar belakang tersebut, wajar sepertinya jika NU jauh lebih dinamis dan oknum-oknum di dalamnya sering digoda oleh kepentingan politik praktis.

Para petualang politik melihat kader dan simpatisan NU sebagai ceruk elektoral yang sangat potensial. NU atau elit di PBNU kemudian sering dipolitisasi dan masuk dalam dinamika tarik menarik kekuasaan.

'Keterlibatan' NU dalam kontestasi politik kemudian memunculkan kesan bahwa NU tak netral. NU telah berpihak dan menjadi tameng untuk membela kepentingan kelompok politik tertentu.

Padahal, seperti yang telah disinggung di atas, sejatinya NU mewakili berbagai macam latar belakang, bukan hanya etnis, tetapi juga latar belakang politik. Kecenderungan NU atau elit NU yang berpihak ke suatu kelompok politik, tentunya berpotensi mencederai keberagaman di tubuh NU.

Meskipun, harus diakui politik dan NU ibarat dua sisi mata uang. Sejarah NU dan politik telah begitu mengakar dan berlangsung selama puluhan tahun.

Pada dekade 1950-an, misalnya, NU yang semula bagian dari Masyumi, resmi menjadi partai politik mandiri. NU sebagai parpol bahkan ikut dalam kontestasi Pemilu 1955.

NU kemudian berubah menjadi kekuatan politik yang mapan. Peran NU bahkan semakin dominan ketika Masyumi dibekukan karena elitnya terlibat dalam gerakan PRRI di Sumatra Barat.

Tumbangnya Masyumi menjadikan NU sebagai poros utama 'politik' Islam pada saat itu. Puncaknya, ketika persinggungan politik aliran semakin kuat pada dekade 1960-an, NU mampu tampil sebagai kekuatan penyeimbang kubu komunis.

NU adalah kekuatan politik islam yang menerima konsep penyatuan ideologi ala Soekarno dalam bentuk Nasionalis, Agama, dan Komunis atau Nasakom.

Keputusan NU untuk menerima Nasakom dari perspektif politik tentu bisa dimaklumi. Sebab, jika NU memilih menarik diri, seperti yang dilakukan kekuatan politik lainnya, Soekarno akan ditinggal sendiri dan negara akan jatuh ke kelompok kiri. Dan jika itu terjadi, NU bisa bernasib sama dengan Masyumi.

Situasi politik kemudian berbalik ketika pecah peristiwa 1965. NU yang antikomunis tampil di garis depan. Para santri dan unit paramiliternya menjadi kekuatan pemukul paling efektif dalam menghancurkan pengikut komunis di berbagai daerah, khususnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur. 

Konon, sekitar 500.000 sampai 3 juta orang 'komunis' menjadi tumbal pertarungan politik waktu itu. Soekarno yang sudah kadung mendeklarasikan diri sebagai presiden seumur hidup tumbang. Orde Baru kemudian lahir dari keacauan politik paling berdarah dalam sejarah politik kontemporer tersebut.

Sayangnya bulan madu antara Orde Baru dan NU hanya sebentar. Orde Baru yang militeristik berubah menjadi kekuatan menindas. Jenderal Soeharto, penguasa Orde Baru mengedepankan stabilitas dibanding demokrasi. Kemerdekaan kemudian dibungkam. Organisasi politik disatukan ke dalam tiga golongan. 

Golongan Islam yang sebelumnya memiliki banyak kendaraan politik seperti NU, PSII, Perti, dan Parmusi dipaksa bergabung ke dalam PPP. Sementara yang golongan nasionalis dan golongan politik non Islam dipaksa bergabung ke PDI.

Satu-satunya golongan non-parpol, tetapi memiliki pengaruh politik yang cukup kuat dalam politik ala Orde Baru adalah Golongan Karya alias Golkar. Golkar adalah mesin politik yang menjadi penopang kekuasaan Orde Baru selama lebih dari tiga dasawarsa.

Namun rupanya, represi Orde Baru terhadap demokrasi tak hanya berhenti pada pengkerdilan organisasi politik. Upaya untuk mengontrol kehidupan sosial politik semakin kuat. Pertentangan antara golongan agama dan negara mencapai puncaknya ketika penguasa Orde Baru, Soeharto, menerapkan azas tunggal Pancasila.

Sontak rencana itu mendapat tentangan dari banyak pihak. Golongan islam politik tidak setuju dengan gagasan pemerintah tersebut.

Di sisi lain, upaya pemaksaan ideologi tersebut kemudian melahirkan sedikit kegundahan bagi kekuatan Islam, seperti NU. Ada dua perdebatan yang cukup kuat waktu itu, pertama menerima Pancasila dengan konsekuensi menihilkan Syariat Islam. Kedua, menolak Pancasila sebagai azas tunggal yang berarti akan berhadapan dengan negara.

Di tengah kegamangan tersebut, NU kemudian menggelar Musyawarah Nasional di Situbondo pada tahun 1983. Waktu itu, lahirlah konsep NU kembali ke Khittah. Khittah artinya tujuan dasar. Kembali ke Khittah artinya kembali ke sangkan paraning dumadi NU. 

Dalam posisi itu, NU kemudian berpandangan Islam dan Pancasila bukanlah sesuatu yang saling bertentangan. Secara politik NU menerima Pancasila sebagai ideoligi. Namun khusus soal kegiatan keagamaan, prinsip syariah tak bisa dikesampingkan.

Salah satu tokoh NU, KH Mustofa Bisri, dalam kanal YouTube - nya, bercerita tentang bagaimana konsepsi tersebut dilahirkan. Menurutnya konsep kembali ke khitah adalah strategi NU untuk bertahan dari represi Orde Baru. "Kembali ke khittah itu maksudnya supaya yang dibonsai Orde Baru (Suharto) itu hanya politiknya saja, sementara peran lainnya dikembalikan ke NU."

Kembali ke khittah menurut kyai yang kerap disapa Gus Mus itu juga ingin kembali menempatkan NU supaya bertindak secara proporsional. Tidak terlalu ke kanan dan tidak pula terlalu ke kiri.

Lepas dari PKB?

NU secara 'tidak langsung' kembali ke ranah politik ketika para Kyai dan tokohnya mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa atau PKB. PKB didirikan pada 23 Juli 1998. Salah satu pendiri yang cukup dikenal adalah KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Gus Dur kelak menjadi presiden pertama setelah Indonesia mengalami perubahan rezim dari otoritarianisme Orde Baru ke arah demokratisasi.

Sebagai partai yang lahir dari para Kyai, PKB kemudian memang identik dengan NU dan menjadi salah satu saluran aspirasi politik warga Nahdliyin hingga saat ini. Sempat terjadi konflik, ketika Muhaimin Iskandar atau Cak Imin dianggap 'mengkudeta' Gus Dur. Para pengikut loyal Gus Dur banyak yang keluar dari PKB. Suara kaum Nahdliyin terpecah.

Mereka ada yang mendirikan partai sendiri, salah satunya adalah putri Gus Dur Yenny Wahid. Ada pula yang bergabung dengan partai lain. Tidak hanya ke PPP, tetapi banyak orang NU yang bergabung dengan partai berlatarbekalang sekuler hingga nasionalis seperti PDI Perjuangan atau PDIP.

Kondisi ini kemudian menimbulkan banyak kekhawatiran. Mantan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Alwi Shihab merasa seharusnya orang Nahdlatul Ulama (NU) memilih partai pimpinan Muhaimin Iskandar alias Cak Imin.

Sebagai partai politik yang lahir dari NU, Ali berpendapat kunci kesuksesan PKB adalah kekompakan warga NU. Oleh sebab itu, dia meminta semua politisi PKB bisa memastikan warga NU pilih mereka dalam ajang pemilu.

“Kita harus mencari celah agar warga NU ini bisa kompak, sepakat untuk memenangkan partai ini [PKB]. Kalau ada orang NU yang memilih partai selain PKB, itu agak aneh sebenarnya, apalagi memusuhi," ungkap Alwi jadi pembicara pada Ijtima' Ulama Nusantara yang disiarkan kanal YouTube DPP PKB, dikutip Sabtu (14/1/2023).

Dia pun berharap PKB dapat terus meningkatkan perolehan suaranya terutama pada Pemilu 2024. Meski begitu, dia mengakui harapan itu hanya bisa terwujud jika semua pihak terkait bekerja sama.

“Kita sebentar lagi menghadapi Pemilu dan diharapkan ada peningkatan suara [PKB]. Tak hanya bisa dengan doa saja, kita harus bekerja,” jelas mantan menteri luar negeri itu.

Alwi menyebutkan, para ulama punya peran penting dalam upaya pemenangan PKB. Dia mengingatkan para ulama NU yang membentuk PKB. Oleh sebab itu, kini para ulama NU juga harus bekerja sama dengan PKB.

"Jangan dianggap jalan sendiri bisa besar. Para ulama di sini yang bisa mengambil inisiatif bagaimana caranya organisasi Islam terbesar di dunia [NU],” ujarnya.

Adik dari Quraish Shihab itu meyakini NU dan PKB bisa saling sinergi untuk satu tujuan bersama, khususnya untuk menghadapi Pemilu 2024. “Ini penting untuk dibicarakan, mungkin di level ulama khususnya di daerah. Dewan Syuro PKB kita harapkan bisa bersinergi sehingga hasil kesepakatan kerja sama akan terlihat perolehan suara PKB," ucapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Edi Suwiknyo
Editor : Edi Suwiknyo
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper