Bisnis.com, JAKARTA – Korea Selatan tengah melakukan pembicaraan dengan Amerika Serikat untuk melakukan perencanaan dan latihan bersama yang melibatkan pasukan nuklir AS untuk melawan ancaman nuklir Korea Utara.
Hal ini diungkapkan oleh Presiden Korea Selatan Presiden Yoon Suk Yeol dalam wawancara dengan surat kabar Chosun Ilbo, seperti dilansir Yonhap News pada Senin (2/1/2023). Yoon mengatakan gagasan AS menyediakan pencegahan yang disebut payung nuklir yang diperluas ke Korea Selatan tidak cukup untuk meyakinkan publik Korsel.
Wawancara tersebut diterbitkan sehari setelah media pemerintah Korea Utara melaporkan pemimpin Kim Jong-un menyerukan peningkatan persenjataan nuklir negara secara besar-besaran. Selain itu, Kim juga menyebut Korsel sebagai musuh nyata.
"Di masa lalu, konsep payung nuklir adalah persiapan melawan Uni Soviet dan China sebelum Korea Utara mengembangkan senjata nuklir. Pencegahan yang diperluas juga merupakan pernyataan AS kepada kami untuk tidak khawatir karena akan mengurus semuanya, tetapi sekarang, sulit untuk meyakinkan warga Korsel hanya dengan itu," katanya.
Yoon mengatakan bahwa pemerintah AS juga memahami kekhawatirannya tersebut. Untuk menanggapi ancaman nuklir Korut dengan lebih baik, Korsel berharap mengambil bagian dalam operasi pasukan nuklir AS.
"Dalam upaya perluasan pencegahan yang efektif, kami sedang dalam pembicaraan dengan AS mengenai konsep perencanaan dan latihan bersama dalam hal kemampuan nuklir, dan AS cukup positif tentang hal itu," ungkap Yoon.
Baca Juga
Dia mengatakan meskipun yang memiliki persenjataan nuklir adalah AS, tetapi perencanaan, pembagian informasi, latihan, dan pelatihan harus dilakukan secara bersama-sama oleh kedua negara.
Di sisi lain, Yoon menolak anggapan bahwa AS akan membagi armada nuklirnya untuk Korsel.
Terkait rencana mengupayakan pertemuan tingkat tinggi dengan pemimpin Korea Utara Kim Jong-un, Yoon mengatakan tidak akan ragu untuk melakukan hal tersebut. Namun, ia mengatakan bahwa warga Korsel tidak akan puas jika pertemuan tersebut hanya menjadi seremonial belaka.
"Kita harus mulai dengan dialog tentang isu-isu kemanusiaan, dan membuka pintu untuk kontak dan dialog antara Selatan dan Utara. Kita harus menetapkan arah dengan melakukan sejumlah diskusi mengenai agenda kedua negara," pungkasnya.