Bisnis.com, JAKARTA – Dua pejabat pemerintahan Amerika Serikat (AS) yang tak disebutkan namanya mengklaim bahwa pada bulan lalu para pemimpin militer senior Rusia membahas terkait kemungkinan kapan dan bagaimana mereka menggunakan senjata nuklir di medan perang melawan Ukraina.
Laporan BBC pada Kamis (3/11/2022) mengatakan bahwa Presiden Rusia Vladimir Putin tak ikut terlibat dalam diskusi tersebut.
Pemerintah AS sendiri sudah terang-terangan merasa semakin khawatir terkait potensi penggunaan senjata nuklir oleh Rusia.
"Kami semakin khawatir tentang potensi tersebut beberapa bulan belakangan," ujar juru bicara keamanan nasional Gedung Putih John Kirby.
Meski begitu, laporan yang sama menekankan bahwa AS masih tak melihat tanda-tanda Rusia bersiap menggunakan nuklir.
Kesimpulan tersebut diambil karena para intelijen negara-negara Barat mengatakan bahwa Rusia belum memindahkan senjata-senjata nuklirnya.
Baca Juga
Di sisi lain, Juru Bicara pemerintah Rusia Dmitry Peskov menuduh pihak Barat "sengaja ingin membangun narasi" penggunaan senjata nuklir.
Akhir September lalu, Putin beberapa berbicara tentang nuklir dan retorika anti-Barat. Dia menekankan akan menggunakan segala cara untuk melindungi Rusia dan tanah Ukraina yang didudukinya.
"Ini bukan gertakan," kata Putin.
Dia menuduh Barat memaksa Rusia untuk meningkatkan kekuatan nuklir dan mengklaim punya senjata yang lebih modern daripada yang ada di gudang senjata NATO.
Rusia juga telah menuduh Ukraina menyiapkan "bom kotor", yang sarat dengan bahan radioaktif. Kendati demikian, Ukraina dan negara-negara Barat mengatakan Rusia hanya coba membuat dalih untuk menyalahkan Kyiv jika alat semacam itu digunakan.
Putin sendiri bersikeras bahwa Rusia hanya mengizinkan penggunaan senjata nuklir secara defensif. Di sisi lain, Kepala Dewan Keamanan Rusia Dmitry Medvedev mengatakan penggunaan nuklir dimungkinkan jika terjadi ancaman eksistensial terhadap negara, yang mana dia menggarisbawahi tujuan perang Ukraina adalah untuk memulihkan semua wilayah yang sebelumnya menjadi milik Rusia, dan itu sendiri merupakan ancaman eksistensial.