Bisnis.com, JAKARTA -- Konflik antara Israel dan Palestina sudah berumur lebih dari setengah abad. Upaya untuk mendamaikan dua negara tersebut selalu gagal. Konflik justru terus terjadi dan seringkali berlangsung secara sporadis.
Menariknya, di tengah ketegangan yang sering tidak menentu, Perdana Menteri Israel Yair Lapid menawarkan konsep Two State Solution. Konsep Two State Solution berarti Israel dan Palestina akan menjadi dua negara berdaulat yang saling berdampingan.
Konsep ini sejatinya telah ada sejak tahun dekade 1970-an silam. Namun sampai sekarang, upaya itu tidak kunjung bisa diimplementasikan.
Pengajar Universitas Paramadina, Ahmad Khoirul Umam, memaparkan bahwa dalam konteks neorealis, apa yang terjadi di Palestina dan Israel tidak terlepas dari dukungan kuat internasional termasuk gagasan Two States Solution yang disampaikan PM Israel dan Joe Biden.
Umam memaparkan bahwa dulu, dunia Arab sangat solid. Beberapa kali perang Arab – Israel, dunia Arab nampak solid hingga pada era perang Yom Kippur 1973, Israel hampir saja kalah.
"Ketika itu suara dunia Arab bulat : No peace, No Nego!," ujarnya.
Baca Juga
Namun pada hari ini, menurutnya, dunia Arab telah terjadi pergeseran pendirian. Beberapa negara Arab telah membuka hubungan diplomatik dengan Israel, dan aktor utama untuk itu nampaknya pihak Arab Saudi.
Pergeseran posisi dunia Arab didorong oleh tingginya ketergantungan proteksi militer negara-negara Arab kepada Amerika Serikat. Umam bahkan memaparkan bahwa saat ini terdapat Private Military Company (PMC) yang dimiliki oleh para veteran perang AS yang diperkerjakan di sejumlah negara-negara timur tengah.
"Saat ini yang menjadi ancaman baru adalah Iran. Shifting ancaman ke Iran tersebut membuat Israel lebih leluasa. Namun, masalah Palestina kemudian tidak lagi menjadi prioritas bagi politik luar negeri negara-negara Arab."
Lalu Bagaimana dengan Indonesia?
Khoirul Umam menjelaskan bahwa hambatan utama bagi perdamaian Israel dan Palestina adalah masalah perbatasan, di mana Israel tidak mau menyerahkan batas wilayah yang didudukinya pada Perang 1967, karena masing-masing mempunyai persepsi.
Wilayah Tepi Barat Palestina telah dibangun dan dikembangkan oleh Israel dengan membangun ribuan perumahan Yahudi. Israel juga tidak mau membagi ibukota Jerusalem menjadi dua, sebagaimana tuntutan pihak Palestina yang menghendaki Jerusalem Timur.
Masalah lain yang juga berat, lanjut Umam, adalah 5 juta pengungsi Palestina yang terpaksa mengungsi sejak Perang 1948. Para pengungsi Palestina pasti ingin kembali ke tanah asal mereka, sementara Israel menolak karena salah satu pertimbangan, yakni perubahan komposisi penduduk, yang akan berubah paska kembalinya para pengungsi Palestina.
"Indonesia jelas harus berperan aktif dengan membangun sinergi aktif dengan negara-negara moderat seperti Turki, Jordania, Maroko, Emirat Arab, Qatar, Jordania dan Arab Saudi. Serta negara-negara Asia Selatan Pakistan dan Malaysia," imbuhnya.
Perlu Lebih Keras
Sementara itu mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin Ide Two States Solution adalah ide dan harapan yang realistis setelah jalur konflik militer dan diplomasi untuk menyelesaikan persoalan Palestina dan Israel telah meminta banyak korban di pihak Palestina, namun juga kelelahan psiksi di kedua belah pihak.
Menurutnya, beberapa negara OKI telah melangkah lebih maju seperti Mesir, Uni Emirat Arab, Jordania dan terakhir sedang berproses, Arab Saudi, untuk membuka hubungan diplomatik dengan Israel. OKI juga menganjurkan Two State Solutions dalam sikap politiknya.
Hubungan dagang langsung dengan Israel secara diam-diam juga telah dilakukan oleh bebeberapa negara Islam yang tidak mempunyai hubungan diplomatik, seperti Indonesia.
Upaya Two States Solution, kata dia, juga harus melibatkan dan sosialisasi intens secara Person to Person (P to P) dengan jalinan pertemanan tokoh-tokoh yahudi dunia.
Ada 2 organisasi komunitas yahudi internasional yang berpengaruh. Pertama, World Jewish Congress dan kedua, American Jewish Committee di New York yang sering mengundang tokoh-tokoh Indonesia. Kedua komunitas yahudi internasional tersebut ide solusi dua negara harus lebih serius disuarakan.
"Indonesia harus lebih keras bersuara di forum OKI untuk menggoalkan ide solusi dua negara. Meski ada kondisi global injustice dan standar ganda oleh USA dan Barat, namun kepada anggota OKI terutama yang dipandang moderat seperti Turki, Pakistan dan Maroko harus dapat membangun kemitraan strategis menghadapi USA dan Barat, terutama untuk menggoalkan ide Solusi Dua Negara."