Bisnis.com, JAKARTA - Perang Rusia vs Ukraina berimbas pada beberapa sektor dalam skala internasional, dari mulai harga energi, gangguan rantai pasokan, konflik bersenjata, dan efek jangka panjang dari pandemi menciptakan badai yang sempurna untuk dunia mencapai krisis.
Dilansiri Theintercept.com, pada Kamis (28/7/2022), salah satu krisis tersebut sedang melanda Sri Lanka, orang-orang dari Sri Lanka menghadapi harga pangan dan energi yang lebih tinggi selama berbulan-bulan.
Begitu pemerintah kehabisan cadangan devisa yang diperlukan untuk mengimpor kebutuhan dasar seperti makanan dan gas, tekanan menjadi terlalu berat untuk ditanggung karena diperburuk oleh pandemi Covid-19, kekacauan ini sedikit banyaknya diciptakan oleh perang di Ukraina.
CEO Qamar Energi, Robin Mils mengatakan krisis kali ini tidak hanya berasal dari minyak saja, melainkan saat uni krisis mencakup gas, logam, batu bara, makanan, dan banyak komoditas lainnya, sehingga setiap negara dengan utang tinggi akan terancam.
“Beberapa negara akan mengatasi dan melewatinya, sementara negara lain akan mengalami revolusi dan kudeta. Ini akan sangat tidak stabil, dan saya rasa kita belum berada dalam kondisi terburuk,” ungkap Mils.
Rusia dan Ukraina disebut sebagai negara adidaya dalam urusan pangan, kedua negara ini secara kolektif mengekspor 12 persen dari semua kalori yang dikonsumsi di seluruh dunia dan sebagian besar dalam bentuk gandum.
Baca Juga
Ukraina juga merupakan sumber dari minyak biji bunga matahari hingga menyentuh angka 50 persen dari yang digunakan di pasar global dan gangguan ekspor ini telah membuat harga minyak ini meroket di seluruh dunia.
Lalu, untuk mengatasi krisis pangan ini, diharapkan dalam perjanjian untuk mengekspor jutaan ton biji-bijian yang terperangkap di Ukraina segera dapat diekspor ke pasar global segera ditandatangani.
Negara-negara yang mengharapkan perjanjian ini adalah negara seperti Mesir, Tunisia, Laos, Ekuador dan Nigeria karena sangat bergantung pada impor Rusia dan Ukraina, yang lebih parahnya lagi negara seperti Somalia sangat bergantung pada impor Rusia dan Ukraina dengan menyentuh angka 90 persen.
Direktur prakiraan global dari Economist Intelligence Unit, Agathe Demarais memprediksi krisis harga pangan akan terjadi tahun depan, dengan perkiraan kenaikan harga pupuk bercampur dengan gelombang panas dari iklim yang akan berpengaruh pada panen di seluruh dunia.
Guncangan harga yang lebih besar dari kenaikan minyak dan gas juga sedang terjadi saat ini. Oleh karena itu, negara - negara Eropa seperti Jerman sudah mendiskusikan penjatahan gas selama musim dingin yang akan datang saat mereka berjuang untuk melepaskan diri dari dari pasokan Rusia.
Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk memberhentikan asupan dana yang membantu mendanai mesin perang Vladimir Putin di Ukraina.
Namun, keputusan melepaskan diri dari gas juga lama kelamaan akan memunculkan masalah baru, seperti yang dikatakan Menteri Luar Negeri Jerman, Annalena Baerbock bahwa masalah gas juga dapat memicu pemberontakan rakyat saat mengatakan kepada mitranya dari Kanada.
Tidak dapat disangkal, ini adalah masa-masa sulit di Eropa. Namun, efek pada negara berkembang malah jauh lebih buruk. Dikabarkan saat ini Pakistan sudah menghadapi pemadaman bergilir besar-besaran di kota-kota besar setelah kehilangan akses ke impor gas alam, karena banyak dari pasokan yang tersedia dibeli oleh negara-negara Eropa yang mencoba untuk menggantikan kekurangan mereka sendiri.
Menurut Menteri Perminyakan Pakistan, Musadik Malik mengatakan kepada Wall Street Journal, saat ini hubungan antara perang di Eropa dan penderitaan di Asia sangat jelas seperti halnya yang sedang dialami negaranya.
“Setiap molekul gas yang tersedia di wilayah kami telah dibeli oleh Eropa karena mereka berusaha mengurangi ketergantungan mereka pada Rusia,” kata Malik.
Komentar menteri tersebut merupakan cerminan suram dari mekanisme ketidaksetaraan global, serta pertanda penderitaan yang kemungkinan akan dialami oleh banyak negara berkembang lainnya karena krisis terus berlanjut tanpa perbaikan.
Pertanyaan - pertanyaan pun lahir dari krisis, ini seperti bagaimana mencegah jutaan orang jatuh ke dalam kelaparan dan bagaimana negara-negara yang rapuh dan bersenjata lengkap dapat menghindari kekacauan tak terkendali seperti mengguncang banyak negara Timur Tengah selama dekade terakhir.
Selanjutnya, bank-bank sentral di seluruh dunia telah menanggapi inflasi harga dengan menaikkan suku bunga pinjaman dari posisi terendah sepanjang sejarah mereka sebagai strategi untuk memperlambat kegiatan ekonomi secara umum, sehingga dapat mengurangi sebagian tekanan beli dari harga komoditas.
Lalu, tindakan - tindakan yang dilakukan Amerika Serikat (AS) malah menimbulkan masalah baru, karena dua keputusan soal memblokir produsen minyak yang menyediakan energi ke pasar global.
Untuk keputusan pertama dari AS mungkin dapat dimengerti oleh banyak pihak karena untuk menekan pendapatan dari Ukraina. Namun, keputusan kedua dari AS telah melanggar ketentuan kesepakatan nuklir Iran 2015.
Risiko yang terjadi dari sanksi sekunder, yang telah dikeluarkan AS untuk Rusia hanya sedikit pihak yang bersedia menanggung risiko dari keputusan ini karena ketidaksanggupan dari beberapa pihak saat dilanda krisis dari pasokan energi tersebut.
Terakhir, untuk bisa terhindar dari krisis global ini adalah dengan berdamainya Rusia dan Ukraina serta Iran dan AS. Jika perdamaian tidak dapat ditempuh, maka tekanan yang diciptakan memungkinkan akan mendorong lebih banyak negara ke dalam krisis ekonomi dan sosial yang telah dialami Sri Lanka.