Bisnis.com, JAKARTA – Presiden Prancis Emmanuel Macron mengatakan melalui sambungan telepon kepada Presiden Iran Ebrahim Raisi bahwa kesepakatan nuklir masih dimungkinan terjadi namun harus disekapati dengan cepat.
Macron menyatakan kekecewaan atas kurangnya kemajuan dan bersikeras kepada Presiden Raisi bahwa pilihan yang jelas harus dibuat untuk menyimpulkan perjanjian dan kembali ke implementasi komitmen nuklirnya.
Mengutip Bloomberg, Minggu (24/7/2022), kedua kepala negara juga membahas perang di Ukraina dan konsekuensinya terhadap energi dan ketahanan pangan, serta empat warga negara Prancis yang ditahan di Iran. Macron menuntut pembebasan mereka segera.
Salah satu warga negara Prancis yang ditahan adalah Benjamin Briere, dijatuhi hukuman lebih dari delapan tahun penjara setelah pengadilan memutuskan dia bersalah melakukan spionase.
Juga ditahan di Iran adalah peneliti Prancis-Iran Fariba Adelkhah, yang menerima hukuman penjara lima tahun tahun lalu karena membahayakan keamanan nasional.
Dua tahanan lainnya adalah anggota serikat buruh yang ditahan sejak 11 Mei. Mereka dituduh mengancam keamanan Iran.
Baca Juga
Seperti diketahui, negosiasi antara Iran dengan sejumlah negara adidaya telah terhenti sejak Maret 2021. Kesepakatan 2015 bertujuan untuk mencegah Iran mengembangkan bom nuklir dengan imbalan pencabutan sanksi internasional.
Mantan Presiden AS Donald Trump secara sepihak menarik Amerika Serikat dari perjanjian itu pada 2018 dan menerapkan kembali sanksi terhadap Teheran. Iran kemudian mulai membatalkan komitmennya berdasarkan kesepakatan itu.
Pembicaraan tidak langsung antara AS dan Iran diadakan di Qatar pada Juni 2022. Tapi diskusi terputus dua hari ke dalam pembicaraan tanpa terobosan apapun.
Awal Juli 2022, AS dan Israel menandatangani perjanjian yang berjanji untuk mencegah Iran memperoleh senjata nuklir.
Pekan lalu, seorang pejabat Iran mengatakan Teheran memiliki kapasitas untuk mengembangkan bom nuklir tetapi tidak ada rencana untuk membuatnya. Kementerian Luar Negeri Iran mengatakan tidak ada perubahan pada kebijakan nuklir negara itu.