Bisnis.com,JAKARTA - Yayasan Konsumen Muslim Indonesia (YKMI) memberikan catatan tentang tayangan dan konten berbau unsur pornografi yang berlangsung selama Ramadan 2022.
Ahmad Himawan, Ketua Umum YKMI menegaskan, selama bulan Ramadan, tayangan media televisi dan konten di media sosial yang berbau pornografi dan pornoaksi masih berseliweran bebas tanpa kendali.
“Masih banyak sekali tayangan di media televisi dan konten di media sosial yang berbau pornografi dan pornoaksi bebas berseliweran tapi tanpa tindakan apapun atas hal tersebut,” ujarnya, Sabtu (30/4/2022).
Dalam pandangannya, tayangan di media televisi, masih menampilkan hal-hal yang sangat berbau pornografi secara gamblang. “Kami memiliki catatan tentang sejumlah tayangan di media televisi yang beredar luas di masyarakat, yang berbau pelanggaran atas UU Pornografi dan melanggar Fatwa MUI tentang pornografi dan pornoaksi," ujarnya.
Sayangnya, kata dia, instansi yang berwenang seperti Komisi Penyiaran Indonesia dan aparat penegak hukum seolah diam dalam melihat hal tersebut.
“Seolah negara tidak hadir dalam merebaknya tayangan berbau pornografi dan perbuatan yang cenderung asusila yang berpotensi merusak moral bangsa. Ini bisa kita lihat secara massif di media sosial, yang dampaknya merugikan moral bangsa Indonesia dan umat Islam.Di media sosial sendiri, tambahnya, konten tayangan berbau pornografi dan pornoaksi bisa dilihat secara eksplisit,” tuturnya.
Baca Juga
Dia melanjutnya, Fatwa MUI Nomor 287 Tahun 2001 tentang Pornografi dan Pornoaksi telah menegaskan tentang defenisi perilaku pornografi dan pornoaksi yang diharamkan dalam Islam, namun hal itu masih belum diindahkan.
Selain itu, Himawan juga menambahkan, adanya ketidaksinkronan antara UU No.44/2008 tentang Pornografi dan Fatwa MUI No.287 Tahun 2001 tentang Pornografi dan Pornoaksi.
“Perbedaannya sangat besar sekali, terutama dalam mendefisinasikan tentang pornografi,’ ini berdampak pada merugikan umat Islam sebagai konsumen terbesar di Indonesia,” tegasnya.
Dalam UU Pornografi, ujarnya, defenisi pornografi sangat sempit hanya sebatas pada perilaku yang bersifat seksualitas atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan. “Ini tafsirnya sangat sempit sekali, karena pornografi dimaknai sebatas urusan yang berbau dengan alat kelamin dan seksualitas belaka,” tegasnya.
Sementara itu, merujuk Fatwa MUI tahun 2001 tersebut, defenisi pornografi sangat luas, sehingga banyak sekali pihak yang bisa dimintai pertanggungjawaban secara hukum atas pelanggarannya. “Perlu ada sinkronisasi defenisi Pornografi dalam UU di Indonesia, agar tidak merugikan umat Islam,” paparnya lagi.
YKMI, ujarnya, ke depan akan melakukan penelitian, dan langkah-langkah hukum yang diperlukan untuk melakukan sinkronisasi defenisi pornografi tersebut agar tidak merugikan umat Islam sebagai konsumen terbesar di Indonesia.