Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Studi IPEN: Kebijakan Australia Mengolah Limbah Plastik Jadi Bahan Bakar Bahayakan Asia Tenggara

The International Pollutants Elimination Network (IPEN) menuliskan kebijakan Australia menjadikan limbah plastik menjadi bahan bakar dan membiayai negara-negara ASEAN untuk melakukan itu sangat membahayakan.
IPEN/ DOK
IPEN/ DOK

Bisnis.com, JAKARTA - The International Pollutants Elimination Network (IPEN) telah menerbitkan serangkaian penelitian yang mengungkapkan bagaimana kebijakan sampah dan limbah plastik Australia menjadi bahan bakar mengancam pengelolaan sampah di negara-negara ASEAN. 

Dari penelitian IPEN, ditemukan Australia mendorong investasi besar-besaran dalam pemrosesan sampah plastik menjadi bahan bakar, dengan dalih energi baru terbarukan dan ekonomi sirkular.

Sebelumnya, Australia mengumumkan akan berhenti mengekspor limbah yang tidak diproses pada tahun 2020, setelah dilarang Cina dan beberapa negara ASEAN. Upaya ini dilakukan Australia untuk mengelabui larangan itu.   

Hasil studi IPEN menyatakan Australia mengakali ekspor limbah plastik dengan mengubah nama sampah plastik menjadi bahan bakar yang berasal dari sampah (refure-derived fuel/RDF), sehingga dapat terus memperdagangkan ekspor sampah. 

Dari hasil penyelidikan IPEN, Kebijakan Australia tentang pengelolaan dan ekspor limbah didorong dari lahirnya undang-undang limbah baru yang belum lama ini dikenalkan di negara kanguru itu. 

IPEN dalam hasil studi berjudul “Australian Refuse-Derived Fuel: Produk bahan bakar atau ekspor limbah plastik yang menyamar?” juga meragukan kapasitas Indonesia, Malaysia, dan Filipina untuk mengelola limbah sisa, termasuk impor, serta kerangka peraturan dan undang-undang terkait yang mengatur penggunaan RDF.

Studi itu juga memperlihatkan bagaimana Australia mendorong infrastruktur bahan bakar limbah plastik dan hadirnya sejumlah kekhawatiran, termasuk soal rencana mereka untuk mendanai dan mempromosikan ekspor RDF untuk dibakar di negara-negara di seluruh Asia Tenggara

Selain itu, IPEN menunjukkan bahwa UU Amandemen Limbah Berbahaya Australia, yang disahkan pada Juni 2021, gagal merujuk pada Amandemen Larangan Konvensi Basel yang baru. Akibatnya, pemerintah Australia ingin mempertahankan hak hukum domestik untuk membuang limbah ke negara-negara tetangga yang lebih miskin.

Laporan untuk Indonesia, Malaysia, dan Filipina menunjukkan potensi risiko yang signifikan terkait dengan penggunaan RDF, meskipun belum dapat diukur secara pasti. Sampah plastik campuran dalam bentuk RDF telah terbukti mengandung berbagai aditif kimia beracun termasuk polutan organik persisten, logam berat, dan bahan kimia pengganggu endokrin. 

“Ketika dibakar sebagai bahan bakar RDF dapat menghasilkan dioksin dan furan yang sangat beracun yang dapat mencemari rantai makanan lokal. Secara keseluruhan, IPEN mengatakan studi menunjukkan bahwa beban impor RDF tidak proporsional dan berdampak buruk bagi masyarakat lokal, lingkungan dan kesehatan mereka,” tulis laporan tersebut. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Wahyu Arifin
Editor : Wahyu Arifin
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper