Bisnis.com, JAKARTA - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia memprotes tindakan aparat penegak hukum yang melabeli pemberitaan yang beredar mengenai pengepungan dan tindakan aparat yang berlebihan dan memicu kekerasan di Desa Wadas sebagai bentuk informasi hoaks.
Seperti diketahui, sejak Selasa (8/2) lalu, ratusan aparat kepolisian disiagakan untuk menjalankan proses pengamanan pengukuran tanah di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Kegiatan pengamanan yang berlebihan ini kemudian berujung penangkapan warga dan pendamping.
LBH Yogyakarta mencatat setidaknya ada 67 warga Desa Wadas, termasuk di antaranya anak di bawah umur dan perempuan ditangkap polisi. Warga baru dilepaskan polisi pada Rabu (9/2). Peristiwa pengamanan berlebihan yang disertai kekerasan dan penangkapan ini menjadi sorotan media massa dan warganet di media sosial.
Sebagian besar media massa terpantau menurunkan pemberitaan soal Wadas sejak Selasa (8/2) lalu. Namun, pemerintah terlihat berupaya mendistorsi berita terkait pengamanan berlebihan, kekerasan, dan penangkapan yang dilakukan aparat. Hal tersebut setidaknya tergambar dalam konferensi pers yang disampaikan Menko Polhukam Mahfud MD di Jakarta pada Rabu (9/2) kemarin.
Mahfud menyampaikan semua informasi dan pemberitaan yang menggambarkan suasana mencekam di Desa Wadas tidak terjadi seperti yang digambarkan, terutama di media sosial. Ia mengklaim situasi di Desa Wadas dalam keadaan tenang dan meminta warga tidak terprovokasi. Siaran informasi Polri juga melabeli situasi di Wadas sebagai hoaks atau informasi bohong.
Ini terlihat dari unggahan humas.polri.go.id yang berjudul "Ulama Purworejo Serukan Warga Menolak Hoax Tentang Situasi Wadas, Polda Jateng Warning Akun Tukang Provokasi" pada Kamis (10/2). Dalam unggahan tersebut, Polri juga menegaskan menindak pengelola akun-akun yang dinilai provokatif melalui jalur hukum. Faktanya warga hanya menyampaikan informasi melalui media sosial terkait peristiwa yang terjadi di Desa Wadas.
Baca Juga
Tidak hanya itu, akun twitter @DivHumas_Polri juga menyematkan stempel hoaks terhadap konten milik Wadas Melawan. Polisi membuat narasi bahwa ada warga yang membawa senjata tajam dan kemudian diamankan polisi. Namun, Tempo melaporkan bahwa senjata tajam yang dibawa warga merupakan alat untuk mencari rumput pakan ternak.
Melihat sejumlah fakta tersebut, Ketua Umum AJI Indonesia, Sasmito Madrim mengkritik langkah pemerintah yang melakukan pelabelan hoaks peristiwa di Wadas dan segara menghentikan tindakan itu.
“AJI Indonesia melihat ada upaya pemerintah menutupi informasi yang sebenarnya dan mencoba membangun narasi dan klaim yang dianggap sesuai dengan narasi yang diharapkan aparat. Untuk itu pers nasional tetap harus menjalankan fungsi kontrol sosial seperti diamanatkan UU Pers. Termasuk melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran,” kata Sasmito, Sabtu (12/2/2022).
Sasmito juga meminta pers nasional untuk memberikan suara atau porsi pemberitaan bagi masyarakat umum, termarjinalkan dan mereka yang tidak bisa bersuara. Dalam posisi seperti ini, kata Sasmito, hanya pers yang mendapat jaminan perlindungan UU Pers untuk dapat menjadi juru bicara publik saat berhadapan dengan pemerintah atau penguasa.
Selain AJI Indonesia, beberapa organisasi sipil di antaranya Amnesty International Indonesia, ELSAM, ICJR, ICW, IJRS, Imparsial, KontraS, LBH Apik Jakarta, LBH Jakarta, LBH Masyarakat, LBH Pers Jakarta, PBHI, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Remotivi, SAFEnet, YLBHI mempertanyakan langkah pemerintah menjerat tiga warga Desa Wadas, dengan UU ITE karena mengabarkan informasi terkini desanya saat pengepungan melalu media sosial.
Koalisi masyarakat sipil ini juga mendesak agar pemerintah mengusut dugaan pemadaman sengaja terhadap listrik, sinyal ponsel dan internet di wilayah Desa Wadas selama aksi kekerasan oleh aparat terjadi pada periode 8 - 9 Februari 2022. Pemutusan jaringan komunikasi dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM.
Dalam hal dugaan pemadaman internet itu, negara perlu menyimak kembali keputusan PTUN Jakarta pada 2020 lalu yang mengadili kasus pemadaman internet di Papua dan Papua Barat. Majelis hakim menilai tindakan pemutusan akses internet di Papua melanggar HAM dan menyalahi sejumlah ketentuan perundang-undangan.