Bisnis.com, JAKARTA - Pemilu 2024 diperkirakan diikuti oleh sedikitnya 190 juta pemilih tampaknya masih belum bisa menjanjikan sebuah pesta demokrasi yang lebih demokratis selain menjadi lebih mudah dan transparan dibandingkan dengan Pemilu 2019.
Bahkan, tidak ada jaminan pula kalau pada pemilu mendatang, polarisasi pemilih yang terbelah pada dua kubu kandidat presiden sebagaimana yang terjadi pada dua pemilu presiden terakhir, tidak akan terulang kembali.
Karena itulah, pelung terjadinya kerumitan adminsitratif penyelenggaraan pemilu dan potensi gangguan keamanan akibat tingginya tensi politik menjelang dan setelah penghitungan suara masih tetap terbuka.
Banyak kalangan berharap pada Komisi Pemiliiahn Umum (KPU) dan lembaga pendukung lainnya untuk mengelola pemilu dengan baik, adil dan transparan tanpa mengurangi esensi demokrasi seperti yang diharapkan.
Harapan publik agar pemilu pada 14 Februari 2024 nantinya tidak banyak menelan korban para anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) juga cukup beralasan. Maklum, lebih dari 700 orang dilaporkan meninggal dunia pada Pemilu 2019 akibat kelelahan fisik akibat kerumitan sistem pemilu yang menguras tenaga dan pikiran.
Bahkan, ada KPPS yang melaksanakan penghitungan suara hingga lewat tengah malam karena berbagai faktor kerumitan dan kendala di lapangan. Bayangkan, setelah melalui tahapan pemungutan suara, petugas KPPS harus menghitung satu per satu surat suara lima jenis pemilu, kemudian membuat salinan berita acara sertifikat hasil perolehan suara dengan jumlah rangkap yang banyak.
Maka, KPU dituntut mampu mengurai kerumitan teknis, serta mengurangi beban kerja berlebih petugas ad hoc dengan honor seadanya itu.
Tujuannya agar selain peristiwa meninggalnya ratusan petugas tidak terjadi lagi, KPU bisa menyederhanakan pemilu meski aturan pemilu relatif masih sama dengan aturan yang lama.