Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Anies Baswedan, Gibran dan Skema Soft Landing Jokowi?

Skema soft landing selalu disiapkan siapapun rezim yang akan mengakhiri kekuasannya. Namun, hal ini menjadi tantangan bagi Jokowi untuk mengkonsolidasikan kekuasaan di tengah ambisi para menterinya yang sibuk memoles diri.
Keluarga Presiden Joko Widodo (Jokowi). - ANTARA FOTO/Wahyu Putro A.
Keluarga Presiden Joko Widodo (Jokowi). - ANTARA FOTO/Wahyu Putro A.

Bisnis.com, JAKARTA – Selain presiden, jabatan yang paling banyak diperebutkan adalah posisi Gubernur DKI Jakarta. Hampir semua partai politik dan elit politik pengin menancapkan pengaruhnya di Ibu Kota Negara.

Apalagi ada kesan bahwa jabatan Gubernur DKI selain dekat dengan sumber daya ekonomi dan popularitas, juga menjadi batu loncatan untuk bertarung di kontestasi kekuasaan di level pusat.

Kasus Joko Widodo (Jokowi) yang terpilih sebagai presiden setelah menjabat Gubernur DKI agaknya menjadi yurisprudensi sekaligus contoh bagi para politisi untuk berlomba-lomba memperebutkan kursi Gubernur DKI.

Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta yang juga politisi Partai Gerinda M Taufik, misalnya, telah mencuri start dengan menyebut beberapa nama, salah satunya Wakil Gubernur DKI A Riza Patria, sebagai calon pengganti Anies Baswedan yang bakal lengser tahun ini.

Partai NasDem tak mau kalah, partai pendukung pemerintah yang belakangan ini cukup mesra dengan Anies Baswedan, menyodorkan nama crazy rich Jakarta Utara, Sahroni.

Sementara Golkar, mereka mempersiapkan Ahmed Zaki Iskandar, Ketua DPD Golkar DKI yang saat ini menjabat sebagai Bupati Tangerang, sebagai kandidat calon Gubernur DKI. Azaki bahkan dipersiapkan untuk maju di Pilkada DKI 2024.

PDIP tak mau ketinggalan, partai penguasa parlemen itu juga telah mempersiapkan calonnya sendiri. Meskipun pada saat yang bersamaan, muncul sosok Kepala Sekretaris Presiden (Kasetpres) Heru Budi Hartono yang disebut bakal menggantikan Anies.

gibran dan ganjar pranowo
gibran dan ganjar pranowo

(Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo/Tangkapan Layar @gibran_rakabuming)

Heru adalah sosok yang cukup familiar dalam birokrasi DKI Jakarta. Dia pernah menjabat sejumlah posisi strategis ketika Jokowi dan Ahok berkuasa. Jabatan terakhirnya adalah Kepala Badan Pengelola Keuangan Aset Daerah (BPKAD) DKI Jakarta.

Kedekatan Heru dengan Jokowi-Ahok juga memunculkan kasak-kusuk bahwa keberadaannya dalam bursa calon Gubernur DKI erat kaitannya dengan sosok RI 1. Jadi walaupun tidak maju di Pilkada 2024, Heru setidaknya dapat posisi sebagai penjabat (PJ) Gubernur DKI Jakarta.

Sekretaris PDIP Hasto Kristiyanto beralasan bahwa partainya tak mengambil tokoh eksternal karena PDIP punya kader yang siap menduduki posisi DKI 1, dua di antaranya Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka dan Menteri Sosial Tri Rismaharini.

Kemunculan sosok Gibran menarik untuk dicermati. Gibran adalah putra sulung Presiden Jokowi. Dia saat ini menjabat sebagai Wali Kota Solo dengan tingkat keterpilihan lebih dari 80 persen. 

Banyak analis politik berpendapat bahwa Gibran adalah putra mahkota sekaligus penerus trah politik Joko Widodo. Analisa tersebut tampaknya tidak berlebihan, karena dalam keluarga inti Jokowi, hanya Gibran yang mau terjun ke dunia politik. Sementara Kaesang cenderung sibuk bisnis pisang dan mengurus Persis Solo.

Memang selain Gibran dan Kaesang, ada sosok Wali Kota Medan Bobby Nasution dalam keluarga Jokowi. Namun jika melihat peta politik ke depan, peluang Bobby untuk ikut bertarung ke kontestasi politik tingkat pusat tak sekuat Gibran. Apalagi, Bobby belakangan juga digadang-gadang sebagai calon potensial untuk maju di Pilgub Sumatra Utara.

Gibran dan Skema Jokowi 

Kabar yang menyebutkan bahwa Gibran akan diboyong ke Jakarta sebenarnya sudah berhembus sejak tahun lalu. Kala itu, seorang politisi dari partai koalisi, sempat menyebut Gibran sebagai bagian dari skema soft landing pemerintahan Joko Widodo.

Namun pada waktu itu belum jelas provinsi mana yang akan menjadi pelabuhan politik bagi Gibran apakah DKI Jakarta atau Jawa Tengah.

Pernyataan elit PDIP yang sedang mempersiapkan Gibran untuk DKI Jakarta menjawab semua prediksi dan spekulasi politik waktu itu. PDIP rupanya melihat bahwa meski sering dikaitkan dengan dinasti politik, Gibran tetap memiliki efek elektoral yang cukup tinggi.

Pilihan ini menjadi yang paling logis bagi PDIP, apalagi kadernya yang lain yakni Tri Rismaharini atau Risma belakangan sering disorot lantaran aksinya yang kerap menuai kontroversi.

Signifikansi lain dari kehadiran Gibran juga terkait dengan konstelasi politik menjelang Pilpres 2024. Sebagaimana diketahui, pola pembentukan kubu politik pada tahun 2022 ini sudah semakin kentara.

Secara kasat mata, publik sudah bisa menilai partai A memiliki kecenderungan ke mana dan tokoh B punya preferensi ke kubu siapa.

Dalam posisi inilah, Jokowi memiliki kepentingan untuk menancapkan posisi menjelang lengser keprabon pada 2024 nanti. Jokowi tentu tidak ingin nasibnya seperti dinasti politik lainnya, taruhlah trah Susilo Bambang Yudhoyono, yang mulai kehilangan pamor dan dikejar-kejar perkara usai tak lagi memegang tampuk kekuasaan.

Atau dinasti Cendana, yang hidup dengan bayang-bayang masa lalu dan sampai saat ini belum ada satupun trah dinasti Cendana yang mampu come back pasca babak belur dihajar oleh gelombang reformasi.

Nama Gibran dan Bobby bagaimanapun adalah investasi cukup penting bagi trah Jokowi supaya tetap bertahan di tengah dinamika politik nasional yang cenderung dinamis. 

Keberadaan Gibran juga akan menjadi penyeimbang, jika tampuk kekuasaan nantinya berpindah tangan kepada rezim yang tidak pro kekuasaan saat ini.

Meskipun sulit untuk dielak, Jokowi tentu tak mau mengambil risiko, proyek-proyek ambisiusnya gagal alias mangkrak jika kelak penguasa eksekutif berseberangan dengan visi misinya.

Saat ini, dari tiga besar tokoh yang memiliki elektabilitas paling tinggi, hanya Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto, yang kemungkinan akan melanjutkan visi misi Joko Widodo.

Itupun dengan catatan garis politik Prabowo tidak berubah menjelang 2024 nanti. Kalau berubah, praktis satu-satunya harapan ada di tangan Ganjar Pranowo.

Sementara Anies Baswedan, sepertinya akan sulit untuk mengakomodir keinginan Presiden Jokowi, malah yang terjadi Anies bisa saja menggunakan celah kebijakan pemerintah Jokowi untuk mendulang suara seandainya maju pada Pilpres 2024 nanti.

Misal, mengampanyekan tidak jadi pindah ibu kota untuk mendulang suara dari kalangan Aparatur Sipil Negara (ASN) atau pihak yang tidak menghendaki ibu kota beralih ke Kalimantan.

Patut dicatat Anies adalah satu-satunya tokoh di luar pendukung pemerintah yang memiliki elektabilitas paling tinggi. SMRC atau pengamat politik Hendro Satrio bahkan meramalkan satu-satunya kandidat terkuat yang mampu melawan Anies jika maju dalam Pilpres 2024 adalah Ganjar Pranowo.

Skema ini bisa terlaksana dengan catatan, tidak ada perubahan elektabilitas, peta politik atau Anies gagal maju Pilpres 2024. Kalau Anies tak jadi maju, tentu skema soft landing bagi pemerintahan Jokowi akan berjalan mulus. Tetapi jika Anies maju, satu-satunya jalan bagi Jokowi dan koalisinya yang tersisa ya.. mengusung Ganjar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Edi Suwiknyo
Editor : Edi Suwiknyo
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper