Pengaruh Oligraki
Pengaruh Oligraki
Ambang batas pencalonan presiden itu dinilai tidak hanya menggerogoti demokrasi, tetapi juga mengamputasi amanat Konstitusi 1945.
Bagaimana tidak. Meski seringkali menjadi polemik, segala upaya korektif terhadap ambang batas pencalonan presiden yang disuarakan oleh para senator tersebut tidak pernah mempan.
Artinya, segenap gugatan ditolak, semua langkah hukum dimentahkan, dan seluruh analisa pakar menguap sampai jauh.
Padahal, dalam konstitusi jelas disebutkan bahwa semua warga negara punya kedudukan yang sama di dalam hukum dan politik termasuk untuk menjadi calon presiden.
Benarkah ada kekuatan besar yang bernama oligarki yang berkelindan dengan sejumlah klan politik untuk menghadang wacana tersebut? Atau mereka turut bahu-membahu mempertahankan presidential threshold.
Jawabannya masih sulit untuk ditebak.
“Kita tidak mengerti, kekuatan apa di balik aturan ambang batas pencalonan presiden ini. Di belakangnya, konon ada kekuatan oligarki,” ujar Anggota DPD, Tamsil Linrung dalam satu forum diskusi beberapa waktu lalu.
Tamsil menduga ada siasat meloloskan pasangan capres-cawapres partai politik tertentu, sekaligus mengebiri pasangan kandidat dari parpol lain.
Dia berdalih Indonesia bukan milik kelompok tertentu. Indonesia milik kita, dibangun di atas pondasi demokrasi dan hukum. Prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat menggaransi agar proses pengambilan keputusan akomodatif terhadap peran serta masyarakat.
Sedangkan hukum menjadi aturan main. “Karena itulah hukum harus dimaknai sebagai kesatuan hirarkis norma hukum yang berpuncak pada konstitusi,” katanya.
Menurut senator asal Sulawesi Selatan itu, skenario pembatasan kontestan pilpres telah mengakibatkan polarisasi politik yang sangat tajam dan masyarakat terbelah. Artinya, sistem politik menciptakan dinamika yang bising tapi tidak subtansial.
Padahal, dengan membuka ruang kontestasi seluas-luasnya, termasuk melalui jalur capres independen, republik ini diuntungkan. Kontestasi lebih kompetitif. Selain itu, imbuhnya, bakal muncul banyak kandidat serta mencegah keterbelahan politik.
''Tetapi aturan presidential threshold dalam Pasal 222 UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menginterpretasi berbeda. Untuk dapat mengusung calonnya sendiri, Parpol wajib memenuhi kuota minimal 20% dari jumlah kursi di DPR atau 25 persen suara sah nasional. Kalkulasi suara ini berbasis pada pemilu anggota DPR sebelumnya.'' ujarnya.
Terlihat jelas, ada pertentangan antara pasal di atas. Dan karena konstitusi adalah sumber hukum tertinggi, maka aturan yang bertentangan di bawah harus dipandang inkonstitusional.
Dalam konteks ini inkonstitusionalitas presidential threshold sangat terlihat setidaknya dari dua hal.
Pertama, presidential threshold mengekang kebebasan parpol mengajukan pasangan calon secara mandiri atau bersama, yang oleh UUD 1945, parpol justru diberi keleluasaan.
Kedua, angka 20% jumlah kursi DPR dan 25 persen terasa ajaib karena muncul secara tiba-tiba. Angka ajaib ini tidak punya cantolan kepada UUD 1945.