Bisnis.com, JAKARTA - Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) dan Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Bambang Brodjonegoro mengaku pemerintah sempat kecolongan saat mengimpor alat rapid test antibodi dalam jumlah yang relatif besar pada awal pandemi Covid-19.
Padahal, Bambang menuturkan, pemerintah tidak melakukan analisis atau asesmen terkait kualitas dari alat tes impor tersebut. Maklum, katanya, saat itu kondisi pandemi dalam suasana yang mendesak alias emergency.
“Pada waktu itu, karena memang kondisinya emergency mendesak, sehingga tidak ada analisis asesmen terhadap kualitas dari rapid test antibodi yang dimpor tersebut,” kata Bambang dalam peringatan satu tahun pandemi Covid-19 secara semi virtual pada Selasa (2/3/2021).
Impor rapid test antibodi itu juga turut dibarengi dengan pembelian sejumlah alat kesehatan lainnya yang relatif besar seperti ventilator, termometer, bahan baku obat untuk vitamin.
“Maka konsorsium memutuskan untuk masuk ke elemen-elemen terkait Covid-19 yang tingkat ketergantungan impornya sangat tinggi salah satunya rapid test antibodi,” tuturnya.
Hanya saja, dia membeberkan, hingga saat ini Konsorsium Covid-19 belum mampu untuk membuat alat tes PCR. Padahal, alat itu menjadi standar penggunaan yang dianjurkan oleh WHO.
Baca Juga
“Terus terang kita pada saat itu sampai sekarang, belum mempuyai kemampuan untuk mengembangkan dan memproduksi mesin PCR itu sendiri,” kata dia.
Pertengahan tahun lalu, Bambang sempat membeberkan sebagian produk impor alat kesehatan termasuk rapid test terkait penanganan Covid-19 pada awal pandemi merebak di Indonesia mengandung unsur bisnis.
Hal itu diungkapkan Bambang saat memberi kata sambutan dalam peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Ke-42 Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) pada Senin (24/8/2020).
“Pada waktu awal [pandemi di Indonesia] banyak sekali rapid test yang masuk sebagian mungkin memang ada unsur bisnisnya sebagian memang dengan niatan baik, tetapi yang terpenting semuannya itu impor dan kita tergantung dari supply impor [pada saat itu],” ujarnya.
Demikian juga, alat untuk menegakkan uji PCR seperti reagen dan tes kit berasal dari kebutuhan akan produk impor.
Selain itu, kebutuhan ventilator yang mendesak di awal penanganan pandemi juga turut bergantung dari produk impor.
“Kondisi itu secara jujur menunjukkan industri alat kesehatan dan bahan baku obat di Indonesia tidak didesain untuk kemandirian di bidang kesehatan,” ujarnya.