Bisnis.com, JAKARTA - Lobby politik, termasuk tawar-menawar manfaat, masih bisa terjadi dalam pembahasan revisi undang-undang pemilu.
Terlebih sejauh ini pasal-pasal yang ada dalam draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu masih bisa berubah.
Selain bisa berubah, menurut Anggota Komisi II DPR RI Guspardi Gaus pasal-pasal dalam draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu belum tentu akan dilanjutkan pembahasannya.
Hal itu menurut dia terutama terkait persoalan pelarangan mantan anggota Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang diatur pada pasal 182 ayat 2 dalam RUU Pemilu.
"Isu itu baru masuk [pelarangan HTI], sebetulnya draf revisi UU itu masih prematur, jadi masih bisa berubah. Masih mungkin ada poin yang ditambahkan atau dibuang setelah dibahas secara mendalam oleh pemerintah bersama fraksi-fraksi di DPR," kata Guspardi di Jakarta, Rabu (3/2/2021).
Dia menjelaskan, RUU tersebut akan banyak berubah karena adanya masukan saran dan pandangan dari fraksi-fraksi di DPR dan Pemerintah.
Baca Juga
Menurut politisi PAN itu, terkait pelarangan HTI, dirinya tidak terlalu memperhatikan siapa yang mengusulkannya karena draf RUU tersebut masih prematur.
"Biar kita perdebatkan nanti apakah klausul tersebut perlu dipertahankan atau bagaimana. dan tentunya akan dicarikan solusi dan kesepakatan antarlintas fraksi di DPR bersama pemerintah," ujarnya.
Dia juga menjelaskan beberapa isu krusial lainnya yaitu terkait ambang batas parlemen dan ambang batas pencalonan presiden.
Menurut Guspardi dalam draf RUU Pemilu ambang batas parlemen disebutkan sebesar 5 persen dan ambang batas pencalonan presiden sebesar 20 persen.
"Pandangan Fraksi PAN terhadap masalah ini adalah parliamentary treshold sama dengan periode lalu yaitu 4 persen dan presidential treshold adalah partai yang mempunyai wakil di DPR RI. Jadi artinya setiap partai politik yang ada wakilnya di DPR berhak mengusung calon presiden pada pilpres mendatang," katanya.
Guspardi menegaskan apabila RUU Pemilu tidak jadi dibahas maka apa yang ada dalam draf RUU tersebut tidak bisa dijadikan dasar untuk melaksanakan "kepemiluan" yang akan datang.
Karena itu menurut dia, yang akan menjadi dasar pelaksanaan kepemiluan mendatang yaitu kembali kepada Undang-Undang yang sudah ada yaitu UU nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilu Presiden, UU no 10 tahun 2016 tentang Pilkada dan UU nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu.