Bisnis.com, JAKARTA -- Dirjen Minerba Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin mengatakan, pihaknya sedang mengevaluasi pembanguman smelter milik PT Freeport Indonesia.
Dia menuturkan biaya untuk membangun smelter tidak sampai US$3 miliar atau sekitar Rp52 triliun seperti yang dikatakan pihak Freeport.
Selain itu, perlu diketahui bersama, penjualan tahun 2020 PT. Freeport Indonesia itu sekitar US$3,4 miliar. "Jadi kalau seandainya mau bangun Smelter dengan nilai US$3 miliar, setahun saja mestinya bisa selesai," katanya dikutip dari laman resmi DPR, Sabtu (30/1/2021).
Adapun Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Alex Noerdin meminta studi kelayakan (FS) pembangunan Smelter PT Freeport Indonesia di Gresik melibatkan berbagai macam pihak dalam penyelesaiannya.
Hal ini penting karena masing-masing pihak masih ada silang pendapat terhadap progres pembangunan smelter. Terbukti dengan progres pembangunan smelter masih diangka 6 persen, padahal sudah dimulai sejak 2018 dan direncanakan selesai tahun 2023.
"Dari hasil pembicaraan antara Anggota DPR dapil Papua, Dirjen Minerba dan pihak Freeport bikin saya bingung, terlihat sekali bahwa feasibility studies kita tidak bagus dan tidak terencana dengan benar. Mari kita buat FS nya yang diikuti oleh berbagai macam pihak, sehingga semua pihak bisa terima," kata Alex.
Politisi Fraksi Partai Golkar ini menambahkan, mandeknya progres pembangunan smelter freeport juga disebabkan karena adanya efek pandemi.
Meskipun demikian, pihak-pihak yang bersinggungan dengan pembangunan smelter itu, harus tetap berkomitmen proyek ini akan selesai sesuai perjanjian dengan pemerintah yang menargetkan bisa beroperasi pada kuartal IV 2023.
Pada kesempatan itu, Vice President Hubungan Pemerintah dan Pengembangan Smelter Harry Panca Sakti menyatakan, progres pembangunan smelter masih on the track, dan lebih baik progresnya saat kami melaporkan Januari 2020 kepada pemerintah.
Progres pencapaian masih 6 persen karena terdampak pandemi Covid-19, yang membuat pasokan bahan baku pembangunan smelter dari Kanada, Finlandia, maupun Jepang terhambat.
"Karena investasi yang dikeluarkan untuk bangun smelter itu membutuhkan investasi US$3 miliar atau sekitar Rp52 triliun, sedangkan potensi profit cuma 5-10 persen. Jadi kalau bangunnya pinjam duit dari bank, ini memang proyek yang tidak bagus," jelasnya.