Bisnis.com, JAKARTA – Salah satu markas Front Pembela Islam di Bogor disomasi oleh PT Perkebunan Nusantara VIII. Markas tersebut dinilai berdiri di areal milik PTPN VIII.
Somasi dilayangkan PTPN kepada Habib Rizieq Shihab terkait dengan lahan Markaz Syariah di Megamendung, Kabupaten Bogor. Namun, menurut ahli hukum Refly Harun, tindakan PTPN tersebut tidak tepat secara hukum.
Refly menjelaskan, dari kasus ini pihak HRS terbukti sebagai pihak yang beriktikad baik melakukan pembelian tanah dengann cara yang benar, di mana berdasarkan sertifikat dan data kepemilikan lainnya adalah milik dan hak penjual tanah.
“Kalau PTPN VIII merasa bahwa tanah di lokasi pesantren HRS adalah tanah mereka, maka yang harus dilakukan pertama, harus punya keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menetapkan bahwa tanah tersebut adalah tanah mereka,” ungkap Refly melalui akun Youtube-nya, Senin (28/12/2020).
Selain itu, apabila merasa dirugikan, maka yang harus ganti rugi adalah pihak yang menjual tanah kepada HRS atau pesantren HRS, bukan tanahnya kemudian dirampas kembali. Langkah tersebut pun harus dilakukan dengan berbekal putusan pengadilan.
“Dan pengadilan harus paham kalau tanah ditelantarkan 25 tahun, yang bersangkutan bisa kehilangan tanah tersebut kalau dia tidak menguasai secara fisik,” jelasnya.
Baca Juga
Sementara itu, PTPN justru bisa dikenakan pasal lantaran menelatarkan tanah yang artinya menghindarkan kewajiban.
“PTPN bisa dituduh balik menelantarkan tanah dan tidak melaksanakan kewajiban atas tanah untuk mengupayakan dan mengusahakan tanah tersebut sesuai HGU-nya. Bahkan kalau HGU itu diperoleh dengan cara membayar, justru ada potensi kerugian negara, karena itu ditelantarkan, diupayakan orang lain dan dijual ke pihak yang beriktikad baik,” ungkapnya.
Dari kondisi ini, Refly menilai Rizieq tak bisa dibilang sebagai yang “mencuri” tanah. Kecuali, kalau proses peralihannya diam-diam dan tidak legal.
“Ini prosesnya semua dilegalkan oleh Bupati, RT, RW. Harapannya ini diselesaikan secara hukum bukan politis. Karena tidak ada yang berani melanggar tangan negara kalau negara muncul sebagai otoritarian. Apalagi FPI sekarang jadi pihak yang disasar di mana-mana,” kata Refly.