Bisnis.com, JAKARTA - Saya tidak mengenal Novel Baswedan secara personal, tetapi mengikuti setiap sepak terjangnya di Komisi Pemberantasan Korupsi.
Dia selalu ada dalam banyak situasi, dalam berbagai periode rezim kepemimpinan komisi antirasuah, dan di garda terdepan dalam menangani megakorupsi.
Novel adalah pekerja dengan totalitas, meninggalkan Polri yang membentuknya sebagai penyidik andal. Ada kolega di Korps Bhayangkara yang mencibirnya, menyebutnya pengkhianat, bahkan ada yang mencelakainya.
Pada titik spiritual, mungkin sepupu Gubernur DKI Anies Baswedan bisa disebut figur yang kaffah, mengerjakan sesuatu dengan penuh seluruh. Dia bekerja, dalam sebuah situasi yang selalu saya idamkan sejak kecil; sebaik-baiknya pekerjaan itu adalah ketika kita mencintai.
Karena totalitas, betapa persisten Novel hingga saat ini. Dia tak jera ketika pada suatu subuh dua orang menelikung dengan menyiramkan air keras di mukanya. Matanyapun rusak, buta sebelah.
Penyidik KPK Novel Baswedan.
Baca Juga
Namun, apakah insiden terencana yang mengancam nyawa itu membuat Novel berhenti? Saya rasa kita semua bisa bersaksi: tidak! Novel, pada Rabu (25/11) dini hari terlihat memimpin operasi tangkap tangan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo.
Ini adalah kasus korupsi dengan melibatkan tokoh besar sejak KPK di bawah kepemimpinan Firli Bahuri. Edhy adalah nama besar, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, tangan kanan sang Ketua Umum Prabowo Subianto, tokoh yang sejauh ini paling populer sebagai kandidat presiden 2024.
Tim penyidik yang dipimpin Novel, telah membuka topeng Menteri Edhy, pejabat yang sejak awal diangkat berjanji tidak akan mengecewakan Presiden Joko Widodo maupun Prabowo.
Jejak digitalnya juga terpatri jelas, ketika pada hari antikorupsi sedunia 9 Desember 2019 dia menulis: Korupsi adalah musuh utama yang harus kita perangi! di akun resmi Twitter-nya.
Kasus korupsi Edhy, sedikit banyak membangkitkan harapan publik saat ini menjelang peringatan serupa pada 9 Desember 2020.
Sudah menjadi rahasia publik, sejak UU KPK direvisi pada 2019, apatisme terjadi.
"
Bahkan, perlawanan para koruptor semakin sengit, melalui berbagai jalur kekuasaan; memanfaatkan kecenderungan politik yang menuju oligarki; semua kekuasaan berujung pada segelintir elite."
Novel, sekali lagi menunjukkan taji. Dia masih menjadi musuh besar para koruptor saat ini. Di tengah semua keterbatasannya, secara fisik maupun institusi dia mampu menunjukkan bila Menteri Edhy melanggar sumpah jabatannya dengan kasus korupsi.
Edhy menjadi menteri ketiga dalam pemerintahan yang dipimpin Presiden Jokowi yang terjerat kasus korupsi. Bisa jadi, ini belum akan menjadi kasus terakhir, mengingat banyak informasi yang beredar ada penangkapan susulan yang akan menimpa sejumlah pembantu presiden.
Buntut dari kasus tangkap tangan korupsi Edhy ini, kebijakan ekspor benih lobster dihentikan sementara oleh pemerintah. Keputusan diambil oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan, tentu saja atas persetujuan Menteri ad interim Luhut B. Pandjaitan.
Novel mungkin juga mulai bosan terus-menerus menangkap para koruptor yang seperti tak mengenal jeri. Mengapa juga para pejabat negeri tak juga berhenti korupsi? Kita punya terlalu banyak pengalaman soal ini.
Negeri ini masih belum juga putus dirundung korupsi. Bahkan, perlawanan para koruptor semakin sengit, melalui berbagai jalur kekuasaan; memanfaatkan kecenderungan politik yang menuju oligarki; semua kekuasaan berujung pada segelintir elite.
Bagi orang awam, sebenarnya mudah sekali dalam mencium tanda-tanda korupsi Edhy. Semua bermula ketika sang menteri begitu ngotot mengeluarkan regulasi untuk membuka keran ekspor benur lobster yang semua ditutup oleh menteri sebelumnya, Susi Pudjiastuti.
Kebijakan tersebut sejak mula memang seperti mengangkangi akal sehat, di mana kita rela mengekspor plasma nutfah berharga murah, alih-alih berusaha meningkatkan nilai tambah dengan dengan menjualnya lobster sudah dewasa.
Lobster ini sangat digemari oleh pasar China. Indonesia dengan sumber lautnya yang begitu besar—70 persen wilayah adalah lautan, adalah salah satu penghasil besar. Faktanya, Vietnam kini adalah pemasok utama pasar China, dengan mengimpor bayi lobster dari nelayan kita.
Dan Susi, tentu saja kita tahu berada di garda paling depan untuk menentang kebijakan ekspor bayi lobster ini. Maklum, dia sudah susah payah berusaha agar kekayaan laut di Indonesia lebih bernilai tambah dan lestari.
Dukungan publik? Tentu saja lebih banyak yang menentang ekspor bayi lobster ini. Namun, kekuasaan punya logika sendiri, tujuan sendiri. Dan bisa jadi, suara publik dianggap omong kosong saja. Anjing menggonggong, kafilah berlalu.
Namun, semua juga harus ingat, sistem demokrasi mempercayai bahwa suara rakyat itu adalah suara Tuhan. Jangan pernah abaikan mereka bila tak ingin celaka. Pun ketika Eddy tertangkap kenapa justru Susi yang jadi trending di media sosial?
Warga medsos yang kita kenal dengan netizen ini tentu punya alasan kenapa menyebut Susi, dan memintanya kembali jadi menteri.
Pertama, dia memang salah satu figur populer, tidak hanya karena nyentrik, tetapi juga kebijakan-kebijakanya saat sebagai menteri yang monumental.
Kedua, sejak Susi diganti, Edhy hadir tak ubahnya sebagai antitesis Susi, dengan kebijakan-kebijakan yang berlawanan. Susi, lagi-lagi, punya follower bejibun, di akun Instragram-nya saja dia punya 3,4 juta pengikut.
Namun, saya termasuk yang percaya, memang tidak akan tertukar mana loyang mana emas. Demikian juga dengan regulasi. Warganet, dan juga publik pada umumnya mana saja dengan kualitas emas, mana yang hanya sekelas loyang.
Susi melawan kebijakan ekspor benur lobster ini juga tidak tanggung-tanggung. Ini memang sudah menjadi ciri khasnya, agak slebor, tetapi menggunakan dasar pemikiran kuat. Kelestarian plasma nutfah, adalah fondasi yang tak tergoyahkan.
Kecintaannya akan laut dipadu dengan pengetahuannya luas, dan ini sering tidak cocok dengan logika sebagian pebisnis yang terbiasa rakus, dan mau cepat untung. Oleh karenanya, lawan Susi pun sebenarnya tak terhitung, dan terus bertambah saat dia menjabat sebagai menteri selama 5 tahun.
Kenapa Susi tetap populer ketika sudah tak jadi menteri tentu kapasitas kemanusiaannya. Dia juga tetap jadi dirinya sendiri, tak berubah, kecuali sekarang mengasuh sebuah acara di Metro TV dengan nama dirinya, Susi Cek Ombak.
Orang tetap mengenal Susi sebagai seorang perempuan bertato, merokok, dan idealis. Namun, idealisme dalam karut-marut kepentingan politik saat ini bukan tanpa risiko. Saat menjabat menteri, Susi, lebih terlihat kesepian di dalam kabinet.
Dia bukan tidak menyadari situasi ini, termasuk dorongan untuk lebih mau berkompromi dalam mengambil kebijakan. Susi, tidak alergi terhadap konflik. Kala itu, dia berseteru dengan Menteri Luhut hingga akhir jabatannya.
Mungkin Susi dan Novel juga tidak saling mengenal, tetapi keduanya dipertemukan oleh nurani. Nurani ini yang tak akan pernah bohong dalam menentukan yang putih adalah putih, dan yang hitam adalah hitam.
Nurani dipandu dengan intuisi, akan membantu kita mengambil keputusan yang benar dalam hidup, juga dalam bisnis yang berkelanjutan. Novel, telah memilih menuruti nuraninya untuk selalu konsisten sebagai pemberantas korupsi melalui institusinya tak tergantung siapapun pemimpinnya.
Susi memiliki kesamaan dengan Novel dalam bekerja. Melakukan sebuah pekerjaan dengan penuh kecintaan. Bedanya, Susi hari ini seorang pebisnis, yang sedang berjuang melawan prahara pandemi yang turut menerjang perusahaan penerbangannya.
Novel Baswedan dan Susi Pudjiastuti ini, mungkin juga dipertemukan oleh sebuah kebetulan. Di tempat yang berbeda, mungkin keduanya juga tengah menikmati hasil kerjanya selama ini yang dituntun oleh nurani.