Bisnis.com, JAKARTA - Beberapa ini ramai diberitakan terkait isu potensi pemberhentian Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan terkait pelaksanaan protokol kesehatan Covid-19.
Gara-gara insiden itu, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengelurkan Instruksi Mendagri No. 6/2020 tentang Penegakan Protokol Kesehatan untuk Pengendalian Covid-19.
Pada aturan ini, kepala daerah dapat diberi sanksi hingga pemberhentian dari jabatan apabila terbukti mengabaikan penerapan protokol kesehatan.
Pakar hukum tata negara Refly Harun kemudian menjelaskan bagaimana proses pemberhentian kepala daerah berdasarkan Undang-Undang. Hal itu diungkapkan dalam video YouTube-nya yang berjudul "Presiden Sekalipun Tidak Bisa Mencopot!!" diunggah Jumat (20/11/2020).
Refly mengatakan jika mengacu pada Undang-Undang No 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, dalam Pasal 78, kepala daerah dan atau wakil kepala daerah berhenti karena tiga hal diantaranya, meninggal, permintaan sendiri, atau diberhentikan.
Berdasarkan UU ini kemudian Refly menjelaskan undang-undang ini mengatur proses pemeberhentian yang tidak hanya melibatkan satu lembaga, tapi bisa sekaligus tiga lembaga atau minimal dua lembaga.
Baca Juga
"Kalau tiga lembaga dalam konteks ini DPRD Provinsi lalu bisa juga presiden atau mendagri sebagai administratif lalu juga ada Mahkamah Agung," ungkap Refly seperti dikutip, Jumat (20/11/2020).
Dia lantas menggunakan contoh kasus dugaan pelanggaran protokol kesehatan Covid-19 oleh Gubernur DKI Jakarta beberapa waktu lalu. Refly kemudian menjelaskan bagaimana proses pemberhentian pemerintah daerah.
Jika melalui proses politik, katanya, pemberhentian bisa dimulai dari penggunaan hak-hak DPRD. Dimulai dengan para individu anggota DPRD mengajukan hak untuk bertanya yang kemudian akan dijawab oleh pemerintah daerah.
Kemudian, hal itu bisa meningkat dalam penggunaan hak kelembagaan yaitu hak interpelasi. Hak interpelasi adalah hak untuk mempertanyakan mengenai sebuah kondisi sebuah keadaan yang besar pengaruhnya pada kehidupan kebangsaan dan juga kehidupan di daerah.
"Jadi DPRD menggunakan hak politiknya untuk bertanya kepada seorang gubernur yang tentu saja dalam konteks ini harus dilakukan oleh gubernur sendiri," tutur Refly.
Menurut Refly, penggunaan hak yang sudah bersifat kelembagaan harus dengan penghormatan, jika yang diinterpelasi adalah gubernur maka dia harus datang untuk menjawab pertanyaan itu.
Jika saat interpelasi ditemukan kejelasan dan ada dugaan pelanggaran hukum, DPRD bisa juga menggunakan hak angket. Tidak ada urutan khusus untuk hak angket dan hak interpelasi, yang membedakan adalah tujuannya.
Hak angket dilakukan ketika DPRD berpikir ada pelanggaran hukum dan ada kebutuhan penyelidikan oleh DPRD. Hasil penyelidikan oleh DPRD ini bisa disampaikan kepada penegak hukum agar proses hukumnya dilanjutkan.
DPRD juga bisa menggunakan hak lain yaitu hak menyatakan pendapat. Dimana DPRD akan menyatakan apakah gubernur sudah melakukan pelanggaran hukum atau tidak dimana cukup alasan untuk memberhentikan atau tidak.
Jika DPRD menemukan jawaban bahwa kepala daerah patut untuk diberhentikan, maka hasil itu disampaikan kepada Mahkamah Agung (MA) untuk dinilai.
Refly melanjutkan jika MA mengatakan tuduhan DPRD benar, maka DPRD harus mengusulkan pemberhentian kepala daerah kepada presiden. Cara lain, DPRD tidak menyampaikan usulan ini Mendagri pun kemudian juga bisa meneruskan hasil penilaian MA ini kepada presiden.
Dia menegaskan setelah melalui proses inilah kepala daerah bisa diberhentikan menurut UU.
"MA tentu juga harus menjalankan proses hukum. Sebuah proses hukum yang tentu mendengarkan para pihak yang bersebrangan, bertikai, atau berbeda pendapat," jelasnya.