Bisnis.com, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengagendakan pemeriksaan terhadap tiga pensiunan TNI AD terkait kasus korupsi penjualan dan pemasaran di PT Dirgantara Indonesia (DI) pada Kamis (27/8/2020).
Ketiga pensiunan TNI bernama, FX Bangun Pratiknyo, Aris Supangkat, dan Catur Puji Santoso.
Keterangan ketiganya dibutuhkan penyidik lembaga antirasuah guna melengkapi berkas perkara tersangka mantan Direktur Utama PT DI Budi Santoso (BS).
"Diperiksa sebagai saksi untuk tersangka BS," kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri, Senin (27/8/2020).
Selain tiga pensiunan TNI, KPK juga mengagendakan pemeriksaan terhadap tiga orang karyawan swasta. Mereka juga akan diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Budi Santoso.
Ketiganya adalah, dua karyawan swasta bernama Eddy Rizal Umar, Paul Felix Montolalu dan 1 orang karyawan PT Mitsui Leasing bernama Endrico Mustamu.
Baca Juga
Belum diketahui apa yang akan digali penyidik dari para saksi. Namun, belakangan KPK tengah menelisik penerimaan uang (kickback) dalam rasuah di perusahaan pelat merah ini.
Sebelumnya, Ketua KPK Firli Bahuri mengungkapkan kasus korupsi ini bermula pada awal 2008, saat Budi Santoso dan Irzal Rinaldi Zailani bersama-sama dengan Budi Wuraskito selaku Direktur Aircraft Integration, Budiman Saleh serta Arie Wibowo menggelar rapat mengenai kebutuhan dana PT Dirgantara Indonesia (persero) untuk mendapatkan pekerjaan di kementerian lainnya.
Rapat itu juga membahas biaya entertaintment dan uang rapat-rapat yang nilainya tidak dapat dipertanggungjawabkan melalui bagian
keuangan.
Selanjutnya Tersangka BS (Budi Santoso) mengarahkan agar tetap membuat kontrak kerjasama mitra atau keagenan sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan dana tersebut.
"Namun sebelum dilaksanakan, tersangka BS meminta agar melaporkan terlebih dahulu rencana tersebut kepada pemegang saham yaitu Kementerian BUMN," kata Firli.
Setelah sejumlah pertemuan, disepakati kelanjutan program kerjasama mitra atau keagenan dengan mekanisme penunjukkan langsung. Selain itu, dalam penyusunan anggaran pada rencana kerja dan anggaran perusahaan (RKAP) PT Dirgantara Indonesia (Persero), pembiayaan kerjasama tersebut dititipkan dalam 'sandi-sandi anggaran' pada kegiatan penjualan dan pemasaran.
Budi Santoso kemudian memerintahkan Irzal dan Arie Wibowo menyiapkan administrasi dan koordinasi proses kerja sama mitra atau keagenan.
Irzal pun menghubungi Didi Laksamana untuk menyiapkan perusahaan yang akan dijadikan mitra atau agen.
Firli mengungkapkan bahwa mulai Juni 2008 sampai dengan 2018, dibuat kontrak kemitraan atau agen antara PT Dirgantara Indonesia (Persero) yang ditandatangani oleh Direktur Aircraft Integration dengan Direktur PT Angkasa Mitra Karya, PT Bumiloka Tegar Perkasa, PT Abadi Sentosa Perkasa, PT Niaga Putra Bangsa, dan PT Selaras Bangun Usaha.
" Atas kontrak kerja sama tersebut, seluruh mitra tidak pernah melaksanakan pekerjaan berdasarkan kewajiban yang tertera dalam surat perjanjian kerja sama,” ujar Firli.
Selanjutnya, pada 2011, PT Dirgantara Indonesia (Persero) baru mulai membayar nilai kontrak tersebut kepada perusahaan mitra, setelah menerima pembayaran dari pihak pemberi pekerjaan.
Selama tahun 2011 sampai dengan 2018, jumlah pembayaran yang telah dilakukan oleh PT Dirgantara Indonesia (Persero) kepada 6 perusahaan mitra/agen tersebut sekitar Rp205,3 miliar dan US$8,65 juta.
“Bahwa setelah keenam perusahaan mitra/agen tersebut menerima pembayaran dari PT Dirgantara Indonesia (Persero), terdapat permintaan sejumlah uang baik melalui transfer maupun tunai sekitar Rp96 miliar yang kemudian diterima oleh pejabat di PT Dirgantara Indonesia (Persero) di antaranya Budi Santoso, Irzal, Arie Wibowo, dan Budiman Saleh,” jelasnya.
Perbuatan para tersangka diduga mengakibatkan kerugian keuangan negara dalam hal ini PT Dirgantara Indonesia (persero) sekitar Rp205,3 miliar dan US$8,65 juta.
Atas perbuatannya, Budi Santoso dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU No.31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan UU No.20 Tahun 2001 Jo Pasal 55 Ayat (1) ke 1 KUHP.