Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah tengah mengkaji penghapusan syarat wajib rapid test bagi pelaku perjalanan jarak jauh. Pemerintah sendiri juga memiliki alat rapid test yang jumlahnya mencapai jutaan unit, lalu bagaimana nasibnya?
"Tim satgas sedang melakukan review [kajian] terhadap penggunaan rapid test terhadap pelaku perjalanan dan sekarang belum selesai kajiannya," kata Juru Bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito dalam konferensi pers, Selasa (25/8/2020).
Walhasil, sebelum ada keputusan maka para penyelenggara jasa angkutan umum masih menggunakan Surat Edaran Gugus Tugas Penanganan Covid-19 No.9/2020 tentang Kriteria dan Persyaratan Perjalanan Orang Dalam Masa Adaptasi Kebiasaan Baru Menuju Masyarakat Produktif dan Aman Corona Virus Disease 2019 (Covid-19), sebagai pedoman.
Wiku menyampaikan bahwa rapid test bukan alat diagnosis. Melainkan upaya screening atau penyisiran orang dengan hasil reaktif yang akan dilanjutkan dengan uji usab atau swab test untuk memastikan diagnosis secara valid.
Sementara itu, pemerintah sendiri memiliki 1.172.100 unit alat rapid test antibodi. Wiku memastikan bahwa semua alat tersebut merupakan hasil donasi dari berbagai pihak. "Itu bukan hasil pengadaan pemerintah," tambahnya.
Menristek sekaligus Kepala BRIN Bambang Brodjonegoro sebelumnya mengutarakan bahwa sebagian produk impor alat kesehatan termasuk rapid test terkait dengan penanganan Covid-19 pada awal pandemi merebak di Indonesia mengandung unsur bisnis.
Hal itu diungkapkan Bambang saat memberi kata sambutan dalam peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Ke-42 Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) pada Senin (24/8/2020).
“Pada waktu awal [pandemi di Indonesia] banyak sekali rapid test yang masuk sebagian mungkin memang ada unsur bisnisnya sebagian memang dengan niatan baik, tetapi yang terpenting semuanya itu impor dan kita tergantung dari supply impor [pada saat itu],” kata Bambang.
Demikian juga, alat untuk menegakkan uji PCR seperti reagen dan tes kit berasal dari kebutuhan akan produk impor. Selain itu, kebutuhan ventilator yang mendesak di awal penanganan pandemi juga turut bergantung dari produk impor.
“Kondisi itu secara jujur menunjukkan industri alat kesehatan dan bahan baku obat di Indonesia tidak didesain untuk kemandirian di bidang kesehatan,” ujarnya.
Kendati demikian, dia mengatakan, BPPT telah berhasil menciptakan sejumlah inovasi produk alat kesehatan untuk menangani Covid-19, sehingga ketergantungan barang impor itu dapat dikurangi.
BPPT tengah menggenjot produksi alat kesehatan produksi Indonesia dengan target 1 juta rapid test kit mulai Agustus.
BPPT juga membangun mobile laboratory yang saat ini sedang dalam proses produksi sebanyak 3 unit dan diharapkan bisa membuat 10 unit lagi untuk disebar di seluruh Indonesia.