Bisnis.com, JAKARTA – Berita mengenai warga Singapura yang didakwa di Amerika Serikat karena bekerja sebagai agen intelijen China meningkatkan kekhawatiran akan dampak terhadap reputasi negara kota tersebut.
Dikutip dari BBC, Jun Wei Yeo didakwa menggunakan konsultasi politiknya di Amerika untuk mengumpulkan informasi bagi intelijen China.
Pengakuan ini muncul setelah AS menahan seorang peneliti China yang memiliki keterkaitan dengan militer China.
Departemen Hukum AS mengatakan Jun Wei Yeo, yang juga dikenal dengan nama Dickson Yeo, dinyatakan bersalah dalam persidangan pada Jumat (24/7/2020).
"Pernyataan bersalah hari ini menggarisbawahi cara pemerintah China terus menargetkan warga Amerika dengan menyasar akses ke informasi pemerintah yang sensitif, termasuk menggunakan Internet dan warga negara non-China untuk menargetkan warga Amerika yang tidak pernah meninggalkan Amerika Serikat," kata Michael Sherwin, Penjabat AS untuk Distrik Columbia, dikutip dari Bloomberg.
Mantan sekretaris tetap kementerian urusan luar negeri Singapura Bilahari Kausikan mengikuti sejumlah diskusi di platform media sosial Facebook. Ia membagikan pidato yang ia sampaikan dua tahun lalu mengenai bagaimana warga China melakukan "diplomasi publik di Asia-Pasifik".
Baca Juga
Dalam posting sebelumnya tentang tuduhan yang dikenakan terhadap Yeo, dia mengatakan "orang bodoh seperti Yeo bisa membuat semua orang Singapura dicurigai".
Bilahari juga menunjukkan dalam posnya di Facebook bahwa Yeo belajar di Sekolah Kebijakan Publik (KYSYew) Universitas Lee Kuan Yew Singapura (LKYSPP). Pembimbing Thesis doktoral Yeo adalah Huang Jing, seorang ilmuwan politik China-Amerika yang dicabut statusnya sebagai penduduk tetap Singapura pada 2017 setelah kementerian dalam negeri mengatakan ia mencoba memengaruhi kebijakan luar negeri untuk pemerintah yang tidak dikenal.
Dilansir dari South China Morning Post, dokumen pengadilan mengatakan Yeo telah bekerja di bawah arahan dan kendali intelijen China selama empat hingga lima tahun terakhir. Ia menggunakan situs media sosial untuk "memantau" warga Amerika dengan akses ke "informasi non-publik yang berharga", termasuk militer AS dan pegawai pemerintah dengan izin keamanan tingkat tinggi.
Yeo akan merekrut orang-orang ini dan membayar mereka untuk menulis laporan. Yeo berdalih laporan tersebut ditujukan untuk klien di Asia padahal sebenarnya dikirim ke pemerintah China.
Untuk mendapatkan informasi sensitif, Yeo diinstruksikan oleh agen intelijen China pada tahun 2018 untuk membuat perusahaan konsultan palsu dan memposting lowongan pekerjaan di situs rekrutmen online.
Yeo menciptakan perusahaan menggunakan nama yang sama dengan perusahaan konsultan AS terkemuka yang melakukan hubungan publik dan pemerintah, dan telah menerima lebih dari 400 resume.
Sekitar 90 persen resume ini berasal dari militer AS dan personel pemerintah dengan izin keamanan. Yeo keudian mengirim data tersebut ke operasi intelijen China jika dipandang menarik.
Pekerjaan Yeo dengan intelijen China dimulai pada awal 2015 saat belajar di LKYSPP, ketika ia melakukan perjalanan ke Beijing untuk memberikan presentasi tentang situasi politik di Asia Tenggara.
“Setelah presentasinya, Yeo direkrut oleh berbagai individu yang mengaku mewakili lembaga think tank berbasis di China. Orang-orang ini menawarkan uang kepada Yeo dengan imbalan laporan dan informasi politik,” kata dokumen pengadilan, seperti dikutip South China Morning Post.
Yeo mendapat tugas mencari informasi mengenai hubungan politik, ekonomi, dan diplomatik internasional, yang awalnya berfokus pada Asia Tenggara tetapi kemudian lebih pada AS.
Yeo juga bertemu dengan para pelaksana di seluruh China lebih dari 20 kali. Dalam salah satu pertemuannya di kamar hotel pribadi, ia ditugasi untuk memperoleh informasi non-publik tentang Departemen Perdagangan AS, kecerdasan buatan, dan "perang dagang" antara China dan Amerika Serikat.
Untuk melanjutkan upayanya, Yeo pindah ke Washington dari Januari hingga Juli 2019. Di sana, ia menghadiri berbagai acara di lembaga think tank untuk menjalin koneksi dan membangun kontak dengan orang-orang.
Yeo akhirnya ditangkap pada November tahun itu ketika dia kembali ke AS untuk mencari informasi yang lebih rahasia dari pejabat Pentagon.
Kasus Yeo muncul di tengah memburuknya hubungan antara AS dan China, dan sebagai bagian dari upaya Departemen Kehakiman AS untuk melawan ancaman keamanan nasional China.
Seorang mantan akademisi Singapura yang meminta untuk tidak disebutkan namanya mengatakan Yeo tampaknya memiliki "kepentingannya sendiri yang membutuhkan pengakuan dan validasi".
"Bagaimanapun, saya pikir orang China pasti tahu bagaimana mengeksploitasi korban mereka," katanya.
Mengomentari poin Bilahari mengenai kekhawatiran kecurigaan terhadap warga Singapura di AS, mantan akademisi ini mengatakan sudah ada kekhawatiran yang berkembang bahwa Beijing menggunakan etnis Tionghoa di AS untuk memengaruhi pendapat dan mendorong kepentingannya.
"Kasus ini akan menunjukkan bahwa para akademisi tidak paranoid, dan lebih mengkhawatirkan bagi akademisi Singapura di AS atau yang akan pergi ke AS, bahwa mereka mungkin berada di bawah pengawasan yang lebih besar atau dicurigai," katanya.
Seorang asisten profesor ilmu sosial di Universitas Teknologi Nanyang Dylan Loh merasa bahwa pemerintah Singapura akan berhati-hati untuk tidak membiarkan warganya dimanfaatkan pihak asing. Namun, ia merasa kasus ini tidak akan secara substansial mengubah hubungan Singapura dengan AS atau China.
"Singapura harus memiliki pandangan jernih tentang sejauh mana China siap untuk meningkatkan pengaruh dalam berbagai cara, dan membangun perlindungan dalam hal itu," katanya.
"Saya pikir orang lain akan menilai Singapura berdasarkan perbuatannya dan, saya pikir, kami telah menunjukkan secara konsisten bahwa kami bukan antek siapa pun."