Bisnis.com, JAKARTA – Indonesia Police Watch (IPW) meminta agar pemerintah sebaiknya lebih fokus untuk mempercepat penangkapan buronan Djoko Tjandra ketimbang membentuk tim pemburu koruptor.
Ketua Presidium IPW Neta S. Pane meminta Menteri Politik Hukum dan Kemananan (Menko Polhukam) Mahfud MD untuk mengawasi secara agresif kinerja lembaga di bawah koordinasinya daripada fokus membentuk tim pemburu koruptor.
"Ini lebih urgent dan strategis. Wong koruptornya sudah datang enggak ditangkap kok, malah dikasih surat jalan, lalu apa manfaat tim pemburu koruptor," kata Neta dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Selasa (21/7/2020).
Menurut Neta, pembentukan tim pemburu koruptor justru bisa tumpang tindih dengan Polri, Kejaksaan Agung, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
IPW juga menilai bahwa pembentukan tim pemburu koruptor dari sebelumnya tidak ada gunanya karena para koruptor bisa tetap kabur ke luar negeri.
"Saat ini, misalnya, ada 39 koruptor buronan di luar negeri karena tim pemburu koruptor yang dibentuk rezim masa lalu kerjanya slow-slow saja," ujar Neta.
Baca Juga
Oleh karena itu, dia mendorong agar Menko Polhukam cukup mengawasi secara agresif lembaga penegak hukum dan instansi di bawah koordinasinya agar serius memberantas korupsi, terutama menangkap buronan Djoko Tjandra dan menciduk semua pejabat negara yang memberi bantuan kepada buronan kakap itu.
Neta juga meminta agar Menko Polhukam segera mendalami pengakuan Mabes Polri yang mengatakan bahwa Brigjen Prasetijo mendampingi Djoko Tjandra dalam perjalanan ke Kalimantan Barat.
Menurutnya, hal yang perlu digali Menko Polhukam dari penjelasan Mabes Polri itu adalah dalam rangka kepentingan apa jenderal polisi itu dengan Djoko Tjandra ke Kalimantan Barat.
Dia menilai hal itu bisa menjawab pertanyaan publik benar tidaknya Brigjen Prasetijo mengawal Djoko Tjandra agar tidak diganggu siapa pun selama perjalanan ke Kalimantan Barat.
"Apakah pengawalan sang jenderal ini murni gratis dan tidak ada gratifikasi di baliknya. Mungkinkah pengawalan itu inisiatif pribadi atau ada jenderal yang lebih tinggi yang memerintahkan Brigjen Prasetijo mengawal Djoko Tjandra," ujarnya.
Jika pengawalan itu atas inisiatif Brigjen Prasetijo, lanjut Neta, tentunya saat Djoko Tjandra muncul di Bandara Pontianak sudah ditangkap oleh Kapolda Kalbar, mengingat pangkat Kapolda lebih tinggi dari Prasetijo.
"Jika Kapolda Kalbar tidak tahu bahwa Djoko Tjandra muncul di wilayah tugasnya, ini akan lebih aneh lagi. Sebab akan menjadi pertanyaan, kenapa Kapolda Kalbar tidak tahu? Ada apa dengan cara kerja intelijen di Polda Kalimantan Barat sehingga mereka tidak bisa mendeteksi kemunculan seorang buronan kakap di wilayah tugasnya?" ujar Neta.
Oleh sebab itu, dia meminta agar Menko Polhukam Mahfud MD segera mendesak Mabes Polri untuk menjelaskan secara transparan tentang aksi pengawalan Brigjen Prasetijo terhadap Djoko Tjandra dan alasan Kapolda Kalimantan Barat membiarkan, serta tidak menangkap buronan kakap yang sudah buron selama 11 tahun tersebut.
"Agar mata rantai kasus Djoko Tjandra ini terungkap terang benderang dan para pejabat Mabes Polri tidak membuat misteri baru dalam kasus Djoko Tjandra, Menko Polhukam perlu agresif mengawasi kinerja Polri," ungkapnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, Polri telah mencopot tiga jenderal terkait kasus pelarian Djoko Tjandra. Ketiga jenderal itu antara lain adalah Brigjen Prasetijo Utomo disusul Kadiv Hubungan Internasional Polri Irjen Napoleon Bonaparte dan Sekretaris NCB Interpol Indonesia Brigjen Nugroho Slamet Wibowo.