Bisnis.com, JAKARTA - Tanggal 6 Juni 1901 atau 119 tahun lalu dikenang sebagai hari kelahiran Koesno Sosrodihardjo alias Soekarno yang kemudian lebih dikenal dengan sapaan Bung Karno.
Selain dikenang dengan berbagai gagasan dan pidatonya, Bung Karno juga memiliki banyak nama.
Soekarno adalah anak kedua dari pasangan Raden Soekemi Sosrodihardjo dan Ida Ayu Nyoman Rai.
Raden Soekemi, yang beragama Islam, adalah guru yang ditempatkan di Sekolah Dasar Pribumi di Singaraja, Bali. Sedangkan Nyoman Rai, keturunan bangsawan Bali, beragama Hindu.
Dilahirkan dengan nama Kusno, Soekarno kecil kerap sakit-sakitan. Dalam kultur Jawa dikenal anggapan jika seorang anak sakit-sakitan bisa jadi karena namanya tak cocok.
Umur sebelas tahun nama Kusno diubah menjadi Soekarno oleh ayahnya. Nama tersebut diambil dari nama panglima perang dalam kisah Bharata Yudha yaitu Karna.
Baca Juga
Nama "Karna" menjadi Karno karena dalam bahasa Jawa huruf "a" berubah menjadi "o" sedangkan awalan "su" memiliki arti "baik".
Di kemudian hari ketika menjadi presiden, ejaan nama Soekarno diganti oleh Bung Karno sendiri menjadi Sukarno karena menurutnya nama tersebut menggunakan ejaan penjajah (Belanda).
Bung Karno tetap menggunakan nama Soekarno dalam tanda tangannya karena begitulah yang tercantum dalam Teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang tidak boleh diubah.Selain itu tidak mudah untuk mengubah tanda tangan setelah berumur 50 tahun.
Achmed Soekarno
Selain nama Kusno, Soekarno, atau Bung Karno, Presiden pertama RI ini juga memiliki nama lain, yakni Achmed.
Nama ini muncul dengan aroma diplomasi yang kental. Dikabarkan bahwa di beberapa negara Barat, nama Soekarno kadang-kadang ditulis Achmed Soekarno.
Hal ini terjadi karena ketika Soekarno pertama kali berkunjung ke Amerika Serikat, sejumlah wartawan bertanya-tanya, "Siapa nama kecil Soekarno?" karena mereka tidak mengerti kebiasaan sebagian masyarakat di Indonesia yang hanya menggunakan satu nama saja atau tidak memiliki nama keluarga alias family name.
Versi Bung Karno sendiri, nama Achmed didapatnya ketika menunaikan ibadah haji. Hal ini bisa saja terjadi, karena ada kebiasaan seseorang yang usai menunaikan ibadah haji lazim mendapat tambahan nama. Nama Muhammad, seperti pada nama Muhammad Soeharto, paling sering digunakan. Achmed atau Ahmad juga merujuk pada nama Muhammad. Ahmad adalah sapaan masa kecil untuk Muhammad.
Versi lain menyebutkan bahwa pemberian nama Achmed di depan nama Soekarno, dilakukan oleh para diplomat Muslim asal Indonesia yang sedang melakukan misi luar negeri dalam upaya untuk mendapatkan pengakuan kedaulatan negara Indonesia oleh negara-negara Arab.
Tahun Kelahiran
Soekarno alias Bung Karno, dalam autobiografi Sukarno, An Autobiography as Told to Cindy Adams (Bobbs-Merrill Company Inc, New York, 1965) menyebutkan lahir di Surabaya.
Bapak dipindah ke Surabaya dan di sanalah aku dilahirkan" kata Bung Karno dihalaman 26 buku tersebut.
Pada halaman lain buku tersebut terdapat kutipan pernyataan Bung Karno soal angka serba enam yang mengiringi kelahirannya.
“Aku dilahirkan pada tahun 1901... Hari lahirku ditandai oleh angka serba enam. Tanggal 6 Juni, " ujar Bung Karno.
Soal tahun kelahiran, seperti ditulis di Wikipedia, terdapat dokumen lain yang mencantumkan tanggal 6 Juni 1902 di antaranya dalam buku induk TH Bandoeng yang sekarang masih tersimpan di ITB. Dalam buku tersebut tertulis bahwa tanggal lahir Soekarno adalah 6 Juni 1902.
Rupanya, perbedaan angka tahun itu karena didaftarkan kuliah, umur Soekarno dimudakan satu tahun menjadi 13 tahun, artinya dia didaftar sebagai kelahiran 1902.
Begitulah, sejarah kemudian mencatat Bung Karno, lahir di Surabaya, Jawa Timur, 6 Juni 1901. Sang Proklamator ini, juga meninggal di Jakarta pada bulan yang sama dengan kelahirannya yaitu 21 Juni 1970.
Orator Ulung
Soekarno atau Bung Karno juga dikenal sebagai orator ulung, dengan berbagai pidatonya yang dikenal masyarakat. Jasmerah alias jangan sekali-kali melupakan sejarah ada satu dari sekian pidato Bung Karno yang populer.
Orasinya yang menggelora, konon, membuat masyarakat di masa itu rela berbondong-bondong bahkan berhujan-hujan menyaksikan Bung Karno berpidato. Menghadiri pidato Bung Karno menjadi kebanggaan sejarah bagi orang-orang yang mengalaminya.
Soekarno, RI, Orla, dan Orba menjadi lintasan sejarah yang saling bertaut. Bersama Bung Hatta, Bung Karno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Bersama Bung Hatta, Bung Karno sempat menjadi dwitunggal sebelumnya akhirnya mereka berbeda jalan.
Bung Hatta, yang dikenal memiliki pandangan ekonomi kerakyatan, memilih berpisah karena perbedaan pandangan dengan Bung Karno, sang insinyur tamatan de Technische Hoogeschool te Bandoeng (THB) atau kini dikenal sebagai Insitutut Teknologi Bandung alias ITB.
Pergerakan kemerdekaan Indonesia, Proklamasi Kemerdekaan RI, jalannya pemerintahan RI, dan kejatuhan Orde Lama membawa nama Bung Karno berada di dalamnya.
Sapaan Bung yang mengikuti kata Karno sebetulnya merupakaan sapaan bagi para pemuda di zaman pergerakan. Sesungguhnya nama itu tak hanya melekat pada nama Soekarno. Muhammad Hatta pun dikenal dengan sapaan Bung Hatta.
Namun, dengan nama Karno di belakangnya, nama Bung memiliki makna khusus dalam alam pikir bangsa Indonesia. Seperti orang mendengar sapaan Bung Hatta maupun Bung Tomo.
Penyambung Lidah Rakyat
Bung Karno memiliki banyak sebutan, di antaranya sebagai Penyambung Lidah Rakyat, Putra Sang Fajar dan berbagai sebutan lainnya.
Sebutan Penyambung Lidah Rakyat terdapat pada pernyataan Soekarno seperti disampaikan pada Cindy Adams, seorang jurnalis berkebangsaan Amerika Serikat.
Pada Bab I, buku itu tertera judul, yang menggunakan ejaan lama, Bung Karno Penjambung Lidah Rakjat Indonesia.
Cindy Adams menggambarkan sosok Bung Karno dalam Bab 1 dari buku ini sebagai berikut.
"Tjara jang paling mudah untuk melukiskan tentang diri Sukarno ialah dengan menamakannja seorang jang maha-pentjinta. Ia mentjintai negerinja, ia mentjintai rakjatnja, ia mentjintai wanita, ia mentjintai seni dan melebihi daripada segala-galanya ia tjinta kepada dirinya sendiri. Sukarno adalah seorang manusia perasaan. Seorang pengagum. Ia menarik napas pandjang apabila menjaksikan pemandangan jang indah. Djiwanja bergetar memandangi matahari terbenam di Indonesia. Ia menangis dikala menjanjikan lagu spirituil orang negro."
Soal darah seni dan kelayakan Bung Karno memimpin Bangsa Indonesia, Cindy Adams menuliskan pernyataan Bung Karno berikut ini.
"Orang mengatakan bahwa Presiden Republik Indonesia terlalu banjak memiliki darah seorang seniman. Akan tetapi aku bersjukur kepada Jang Maha Pentjipta, karena aku dilahirkan dengan perasaan halus dan darah seni. Kalau tidak demikian, bagaimana aku bisa mendjadi Pemimpin Besar Revolusi, sebagaimana 105 djuta rakjat menjebutku? Kalau tidak demikian, bagaimana aku bisa memimpin bangsaku untuk merebut kembali kemerdekaan dan hak-azasinja, setelah tiga setengah abad dibawah pendjadjahan Belanda? Kalau tidak demikian bagaimana aku bisa mengobarkan suatu revolusi ditahun 1945 dan mentjiptakan suatu Negara Indonesia jang bersatu, jang terdiri dari pulau Djawa, Bali, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Maluku dan bagian lain dari Hindia Belanda. Irama suatu-revolusi adalah mendjebol dan membangun. Pembangunan menghendaki djiwa seorang arsitek. Dan di dalam djiwa arsitek terdapatlah unsur-unsur perasaan dan djiwa seni."
Masih di bab pertama buku itu, Soekarno, seperti ditulis Cindy Adams, menyatakan bahwa soal ilham kepemimpinan.
"Kepandaian memimpin suatu revolusi hanja dapat ditjapai dengan mentjari ilham dalam segala sesuatu jang dilihat. Dapatkah orang memperoleh ilham dalam sesuatu, bilamana ia bukan seorang manusia-perasaan dan bukan manusia-seni barang sedikit ? Namun tidak setiap orang setudju dengan gambaran Sukarno tentang diri Sukarno. Tidak semua orang menjadari, bahwa djalan untuk mendekatiku adalah semata-mata melalui hati jang ichlas."
Tidak semua orang menjadari, bahwa aku ini tak ubahnja seperti anak ketjil. Berilah aku sebuah pisang dengan sedikit simpati jang keluar dari lubuk-hatimu, tentu aku akan mentjintaimu untuk selama-lamanja. Akan tetapi berilah aku seribu djuta dollar dan disaat itu pula engkau tampar mukaku dihadapan umum, maka sekalipun ini njawa tantangannja aku akan berkata kepadamu, "Persetan !"
Soekarno tampil sebagai sosok yang mempesona bangsa Indonesia, sekaligus hadir dengan berbagai kontroversinya.
Apa pun, sejarah telah mencatat peran Bung Karno untuk bangsa ini. Kini mereka, yang tak sempat berjumpa Bung Karno secara langsung bisa menelusuri berbagai kepustakaan tentang beragam sisi kehidupan Sang Proklamator.
Selain itu, mayarakat juga bisa menyaksikan sisi lain dari Bung Karno melalui Pameran Vitual Fotografi Historis "Bung Karno: Budaya/Seni" yang berlangsung sejak 1 Juni hingga 30 Juni 2020.
Pameran yang diselenggarakan Kemendikbud melalui Museum Kepresidenan RI BALAI KIRTI @balaikirti itu dikurasi oleh Mikke Susanto.
Sebanyak 30 foto terkait Soekarno dan budaya/seni, ditambah dengan 15 karya seni rupa sebagai konten pendukung menghadirkan gambaran sosok sosok Bung Karno dan kedekatannya dengan seni.
Karya yang dihadirkan secara virtual itu antaranya karya Basoeki Abdullah, Dullah, Lee Mang Fong, Dukut Hendronoto, F. Sigit Santoso, Galam Zulkifli, Galuh Tajimalela, Maspoor Ponorogo, Rina Lukis Kaca, dan sejumlah karya lainnya.
Pameran virtual bisa disaksikan melalui instagram dan facebook dengan akun @balaikirti.
Dalam salah satu karya yang dihadirkan, tampak Bung Karno berjongkok di depan sebuah lukisan.Seorang Presiden berjongkok memberikan kesan tersendiri bagi siapa pun.
Pada foto lainnya tampak Presiden Soekarno sedang menyaksikan seorang penari yang menari di hadapannya.
Sejumlah foto lainnya yang menggambarkan aktivitas Presiden pertama RI niscaya bisa menjadi pemantik bagi mereka yang berminat untuk kembali mengenang dan mencari beragam informasi tentang Bung Karno.