Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Anjloknya Harga Minyak Tingkatkan Risiko Keuangan Global 2020

Perang harga minyak antara Rusia dan Arab Saudi menjadi tantangan baru bagi perekonomian dunia yang masih berjuang bangkit dari wabah coronavirus (Covid-19). Jatuhnya harga minyak sebesar 20 persen menjadi kurang dari US$35 per barel mengejutkan pasar dan produksi minyak global.
Harga minyak mentah Indonesia turun./JIBI
Harga minyak mentah Indonesia turun./JIBI

Bisnis.com, JAKARTA - Perang harga minyak antara Rusia dan Arab Saudi menjadi tantangan baru bagi perekonomian dunia yang masih berjuang bangkit dari wabah virus corona (Covid-19).

Jatuhnya harga minyak sebesar 20 persen menjadi kurang dari US$35 per barel cukup mengejutkan pasar dan produksi minyak global. 

Lembaga pemeringkat Moody's dalam laporan terbarunya menyebutkan volatilitas harga minyak dan gas alam yang tinggi paling langsung memengaruhi perusahaan eksplorasi dan produksi (E&P) dan ladang minyak atau oilfiels services (OFS). Khususnya perusahaan yang menghadapi kebutuhan pembiayaan kembali dalam 6 hingga 12 bulan ke depan.

Sebaliknya, sektor midstream mendapat manfaat dari paparan harga komoditas yang rendah dan kontrak perlindungan untuk mengumpulkan, mengangkut, dan menyimpan hidrokarbon. Sektor penyulingan menyeimbangkan manfaat dari penurunan tajam harga bahan baku dengan berkurangnya permintaan untuk produk bahan bakar pada tahun 2020.

Sebelumnya, penyebaran virus corona telah secara signifikan memperlambat kegiatan ekonomi di seluruh dunia, memangkas permintaan untuk minyak dan produk minyak, terutama pada paruh pertama 2020. Moody's memperkirakan bahwa produsen minyak AS dan perusahaan OFS kurang signifian terdampak gangguan rantai pasokan akibat. 

"Skenario kasus dasar kami mengasumsikan bahwa rumah tangga dan bisnis di China akan mulai melanjutkan aktivitas normal pada pertengahan tahun," tulis Moody's dalam laporan berjudul "Low Oil Prices Heighten Financial Risk in 2020", Rabu (11/3/2020). 

Di bawah skenario ini, pemulihan penuh dalam kegiatan ekonomi dan permintaan akan minyak kemungkinan besar akan memakan waktu lebih lama karena diperkirakan baru akan dimulai pada semester kedua tahun ini. 

Di sisi lain, industri minyak secara keseluruhan mendapat manfaat dari perbaikan struktur biaya, dan banyak produsen kecil juga memiliki lindung nilai harga minyak yang substansial yang akan membawa mereka melewati periode ini. 

Namun demikian, harga yang tertekan tidak dapat dipertahankan dalam jangka menengah dan tidak akan mendukung reinvestasi produksi. Penurunan harga minyak akan sangat menekan sektor E&P di tengah keterbatasan aksesnya pada modal dan persyaratan refinancing yang tinggi pada 2020-2021.

Puncak dari guncangan penawaran dan permintaan akan memaksa produsen untuk mengambil tindakan pembiayaan yang drastis dan melakukan pengurangan lebih lanjut dalam pengeluaran modal. 

Sementara itu, dampak pada rantai pasokan OFS sampai saat ini akan menjadi kurang dapat dikelola jika penyebaran virus corona tidak dapat ditahan, dan meluas ke daerah baru yang memproduksi bagian-bagian komponen. 

Jika gangguan seperti itu naik ke rantai pasokan, hal itu akan menghasilkan penumpukan inventaris yang signifikan untuk perusahaan peralatan ladang minyak Amerika Utara, yang akhirnya memengaruhi likuiditas dengan cara mengikatnya modal kerja. 

Lebih lanjut, permintaan minyak dan gas yang turun karena wabah juga akan menekan perusahaan-perusahaan OFS. Akhirnya, pembekuan akses pasar modal untuk perusahaan OFS berperingkat rendah akan secara signifikan meningkatkan risiko gagal bayar dan restrukturisasi.

Sementara itu, Morgan Stanley memandang ada tiga saluran yang terdampak perang harga minyak. Pertama, berdampak negatif  prospek belanja modal untuk sektor terkait minyak serta negara-negara penghasil minyak. 

Kedua, pasar kredit di AS. Produsen minyak EM kemungkinan akan bereaksi negatif, yang mengarah pada pengetatan kondisi keuangan lebih lanjut.

"Memang, kita diingatkan tentang episode antara pertengahan 2014 hingga awal 2016, ketika harga minyak turun secara signifikan, dan menyebabkan pelebaran spread kredit perusahaan, yang berdampak pada ruang kredit imbal hasil tinggi karena komposisi sektornya," tulis laporan tersebut. 

Ketiga, sementara harga minyak yang lebih rendah akan turun ke harga eceran yang juga lebih murah, manfaat positif ini tidak akan sepenuhnya terwujud. 

Pasalnya, beban minyak yang lebih rendah pada konsumen kemungkinan tidak akan sepenuhnya menyebabkan peningkatan pengeluaran dalam waktu dekat karena hal ini terjadi dengan latar belakang keseluruhan downdraft dalam volatilitas ekonomi dan pasar keuangan.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Reni Lestari
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper