Bisnis.com, JAKARTA – Kubu penentang revisi UU KPK mengantungkan harapan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk dapat mencegah skenario pelemahan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Lewat mekanisme pengujian UU No. 19/2019 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK), MK didorong untuk menggali adanya itikad melemahkan lembaga antirasuah. Tak hanya dalam proses pembentukan UU 19/2019, tetapi hingga negosiasi di balik layar.
Mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Denny Indrayana mengajak sembilan hakim konstitusi untuk menelusuri niat sesungguhnya pembentukan UU 19/2019.
Menurutnya, MK tidak cukup mempelajari teks tertulis seperti risalah penyusunan beleid tersebut.
Denny meyakini bahwa revisi UU KPK telah direncanakan sejak lama. Agenda amandemen beleid itu menemukan momentumnya setelah Pemilu 2019 dengan pembentukan UU secara kilat.
“Mahkamah tidak boleh melihat dari risalah sidang [penyusunan UU 19/2019], tapi bagaimana lobi-lobi sebelum sidang,” katanya dalam sidang perkara pengujian UU 19/2019 di Jakarta, Rabu (12/2/2020).
Baca Juga
Denny mengakui bahwa tidak mudah untuk membuktikan negosiasi di belakang layar. Namun, dia mengingatkan bahwa putusan MK tidak semata didasarkan alat bukti melainkan juga bersandarkan pada keyakinan hakim.
Menurut Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Islam As-Syafi'iyah ini, UUD 1945 mengandung muatan moralitas antikorupsi.
Kandungan tersebut diiharapkan dapat terus terjaga dengan cara tidak membiarkan pelemahan KPK.
“Revisi UU KPK pada dasarnya adalah politik hukum ‘membunuh’ KPK, karena itu sekarang pisau bedah penyelamatnya ada di pengawal konstitusi, Majelis Hakim Konstitusi,” katanya.
Dorongan senada juga disampaikan oleh bekas Ketua KPK Busyro Muqoddas. Menurut dia, MK perlu mendalami konsekuensi berlakunya UU 19/2019 terhadap agenda pemberantasan korupsi.
Karena itu, Busyro mengajak para hakim konstitusi memakai pendekatan aktivisme yudisial (judicial activism).
Melalui pendekatan tersebut, MK tidak hanya menggantungkan penilaian pengujian UU semata pada logika tekstual.
“Ketika kepercayaan kepada KPK rontok [akibat revisi UU KPK] masih ada harapan dari sidang ini,” ujarnya.
Denny dan Busyro merupakan ahli yang dihadirkan oleh pemohon dua perkara pengujian UU KPK hasil revisi. Selain dua aktivis antikorupsi itu, Kepala Departemen Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Ridwan turut menjadi ahli.
Namun, keterangan para ahli tersebut dibantah oleh pemerintah. Seperti pada sidang sebelumnya, pemerintah menyangkal pelemahan KPK lewat UU 19/2019.
“Apakah dalam ilmu perundang-undangan ada namanya 'pembunuhan'? Kalau kita konsisten dengan akademis tak seperti itu,” kata Staf Kemenkumham Surdiyanto.
Pada Rabu (19/2/2020) pekan depan, tiga ahli dari dua perkara lainnya dihadirkan oleh MK untuk memberikan keterangan. Sidang tujuh perkara pengujian UU 19/2019 digabung oleh MK, sehingga kesempatan mengajukan saksi dan ahli diberikan secara bergiliran.