Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah akan mempermudah penerbitan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) dengan memperbaiki aturan melalui omnibus law.
Staf Ahli bidang Hubungan Ekonomi dan Politik, Hukum, dan Keamanan Kemenko Perekonomian Elen Setiadi mengatakan, rencana percepatan penerbitan RDTR telah dimasukkan menjadi salah satu poin dalam Omnibus Law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Lapangan Kerja.
Rencananya, bentuk peraturan penerbitan RDTR akan berupa Peraturan Kepala Daerah (Perkada). Format ini sekaligus mengubah ketentuan sebelumnya, yakni RDTR ditetapkan melalui Peraturan Daerah (Perda).
Elen menuturkan, salah satu pertimbangan pemerintah untuk mengubah ketetapan ini adalah untuk mempercepat penerbitan RDTR di seluruh wilayah di Indonesia. Pasalnya, hingga saat ini Indonesia baru memiliki 57 RDTR yang telah berkekuatan hukum.
Padahal, hal ini amat penting dalam proses pembangunan sebuah proyek investasi yang menjadi salah satu fokus kerja Presiden Joko Widodo.
Ia mengatakan, format penetapan RDTR pada bentuk Perda memakan waktu yang cukup lama. Untuk proses penetapan dalam Program Legislasi Daerah (Prolegda) saja, ujarnya, membutuhkan waktu hingga enam bulan.
“Belum lagi waktu pembahasannya, kalau dibahas. Padahal, pemerintah saat ini sangat memerlukan RDTR dengan segera,” katanya pada Selasa (24/12/2019) di Jakarta.
Selain itu, pembahasan mengenai penetapan RDTR juga dinilai tidak perlu lagi melewati proses legislasi oleh Dewan Perwakillan Rakyat Daerah (DPRD). Menurutnya, bagian konsultasi publik dalam pembahasan terkait pembentukan RDTR yang melibatkan DPRD sudah cukup mewakili peran dewan.
Selain itu, penyusunan substansi dalam RDTR di sebuah wilayah juga telah dibantu oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional. Sehingga, proses penetapan melalui Perkada dinilai dapat menggenjot laju penerbitan RDTR dengan lebih cepat.
Selain itu, dalam RUU ini pemerintah juga memberi tenggat waktu kepada daerah untuk merampungkan RDTR-nya masing-masing. Elen mengatakan, tenggat waktu akan berlaku setelah RUU ini resmi menjadi Undang-Undang.
“Tenggatnya tergantung substansi yang sudah siap di Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional. Tetapi, diharapkan dalam setahun daerah-daerah sudah memiliki RDTR karena ditetapkannya sudah melalui Perkada,” imbuhnya.
Berdasarkan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional No. 16/2018 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi Kabupaten/Kota
Pengamat Tata Kota Yayat Supriatna menuturkan, rencana pemerintah sebenernya sudah dilakukan oleh Surabaya dan Bogor. Ia mengatakan, kedua daerah ini menyadari penetapan Perda RDTR akan memakan waktu yang amat panjang karena harus memenuhi banyak persyaratan dan kelengkapan.
Prosedur yang memakan waktu ini dinilai akan mempengaruhi perizinan yang akan turut berdampak pada realisasi investasi di sebuah daerah. Padahal, daerah-daerah memproses banyak perizinan tata ruang setiap harinya.
“Sehingga masih banyak daerah yang menggunakan acuan tata ruang secara makro, yaitu Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dalam proses perizinan,” ujarnya.
Menurut Yayat, kehadiran Perkada terkait RDTR secara otomatis memunculkan payung hukum perizinan di sebuah daerah. Hal ini ke depannya akan dapat membantu percepatan mekanisme penerbitan izin-izin terkait.
“Dalam omnibus law, pemerintah harus dapat mensinergikan aturan ini sehingga dapat mempercepat proses itu (perizinan),” jelasnya.
Tidak Tepat
Hal senada juga diungkapkan Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng. Ia mengakui pembahasan RDTR di seluruh wilayah memang tergolong sulit dan bahkan cenderung menjadi masalah nasional.
Meski demikian, ia menilai rencana perubahan aturan penetapan RDTR menjadi Perkada tidak tepat. Menurutnya, dokumen-dokumen daerah seperti pembahasan RDTR sangat penting, apalagi hal ini menyangkut politik pembangunan.
“Oleh karena itu pembahasan bersama oleh anggota dewan dan kepada daerah justru harus dilakukan,” katanya.
Ia mengatakan, masalah penerbitan aturan terkait RDTR bukan terletak di bentuk hukumnya. Karena dinilai sebagai topik yang rumit, pembahasan terkait RDTR pun kerap kali tidak didukung oleh kapasitas DPRD untuk mengkaji aturan ini.
Guna mengatasi masalah ini, Robert menilai pemerintah pusat perlu melakukan asistensi secara berkelanjutan kepada pemerintah daerah yang dinilai belum memiliki kapasitas yang cukup baik. Hal ini dapat membantu mempercepat pembahasan dan meningkatkan pengetahuan para pembuat kebijakan di daerah terkait hal ini.
Selain itu, koordinasi antarkementerian juga perlu lebih ditingkatkan. Hal ini utamanya ditujukan kepada Kementerian/Lembaga yang terlibat dalam pembahasan RDTR baik secara langsung maupun tidak langsung.
“Jangan sampai pemerintah karena ingin cepat-cepat (mengeluarkan RDTR) mereka mengambil jalan pintas yang menyalahi tata peraturan perunddng-undangan,” imbuhnya.