Bisnis.com, JAKARTA — Presiden Keenam Susilo Bambang Yudhoyono menilai kesulitan ekonomi, termasuk lemahnya daya beli masyarakat adalah nyata. Ini terjadi pada masyarakat berpenghasilan rendah dan kaum tidak mampu.
Yudhoyono (SBY) mengatakan bahwa penurunan daya beli juga ditandai perlambatan penjualan retail, penurunan penjualan mobil dan motor, serta perlambatan konsumsi makanan. Juga ditandai tekanan terhadap upah riil petani dan pekerja konstruksi.
“Kita tahu, ada dua cara untuk meningkatkan penghasilan dan daya beli rakyat. Pertama melalui mekanisme ekonomi, yaitu dengan meningkatkan pertumbuhan dan menciptakan lebih banyak lapangan pekerjaan. Yang kedua, bagi mereka yang benar-benar mengalami kesulitan dalam kehidupan rumah tangganya, pemerintah perlu memberikan bantuan,” katanya pada Pidato Refleksi Pergantian Tahun di JCC Senayan, Jakarta, Rabu (11/12/2019).
SBY menjelaskan bahwa APBN 2020 disediakan anggaran perlindungan sosial berjumlah Rp 372,5 triliun. Anggaran ini baginya cukup besar meski tidak sebesar anggaran untuk pembangunan infrastruktur sekitar Rp419 triliun.
Belanja infrastruktur yang terlalu tinggi dan menomorduakan pembangunan manusia, menurutnya tidak tepat dan tidak adil. Termasuk jika mengabaikan bantuan kepada rakyat miskin dan sedang susah.
“Kita tidak boleh berpikir terlalu kapitalistik dan neo liberalistis dalam pembangunan ekonomi. Paham-paham itu tidak peka terhadap kemiskinan, kesenjangan dan keadilan sosial. Paham demikian berarti bertentangan dengan semangat dan nilai-nilai Pancasila yang ingin mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” jelasnya.
Baca Juga
SBY lalu membanggakan pemerintahannya selama 2004—2014 yang dianggap punya pengalaman baik dengan program perlindungan sosial. Waktu itu dia sebut Program-Program Pro Rakyat.
“Dalam waktu sepuluh tahun 2004–2014 kita bisa menurunkan angka kemiskinan sebesar 6 persen. Sekali lagi Demokrat mendukung setiap kebijakan dan program yang berpihak kepada rakyat kecil,” ucapnya.