Kabar24.com, JAKARTA — Wadah Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan bahwa upaya permohonan uji materi ata judicial review yang dilakukan oleh tiga pimpinan KPK merupakan satu-satunya cara agar pemberantasan korupsi tetap berjalan.
Kemarin, tiga pimpinan KPK Agus Rahardjo, Saut Situmorang, dan Laode M. Syarif mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) atas UU No. 19/2019 tentang perubahan kedua atas UU No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Ketua WP KPK Yudi Purnomo Harahap mengatakan pengajuan judicial review (JR) lantaran Presiden Joko Widodo juga sudah mengungkapkan bahwa peraturan pemerintah pengganti UU menunggu hasil dari persidangan Mahkamah Konstitusi atas uji materi UU baru KPK tersebut.
"Sehingga saat ini JR [judicial review] revisi UU KPK merupakan satu satunya cara agar pemberantasan korupsi tetap berjalan," kata Yudi dalam keterangan resmi, Kamis (21/11/2019).
Dalam catatan Bisnis, sejak KPK memberlakukan UU baru pada 17 Oktober lalu, sampai saat ini belum ada penindakan sama sekali. Padahal, sebelumnya komisi itu mengaku menerima banyak laporan dugaan korupsi.
Sejauh ini, KPK hanya menetapkan status tersangka berdasarkan pengembangan kasus.
Di sisi lain, Yudi mengaku bahwa WP KPK mengapresiasi langkah tiga pimpinan KPK dan tokoh nasional yang melakukan judicial review terhadap UU KPK.
Langkah itu menurutnya sebagai tindakan negarawan yang mewakili aspirasi rakyat Indonesia yang disebutnya khawatir akan nasib pemberantasan korupsi ketika KPK dilemahkan.
"Semoga putusan MK nantinya sesuai dengan harapan rakyat Indonesia."
Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif sebelumnya mengatakan ada beberapa hal yang disorot dalam UU baru KPK salah satunya terkait tidak masuknya RUU KPK di dalam prolegnas. Kemudian, terkait soal waktu pembahasan UU yang dinilai tertutup.
Tak hanya itu, Laode juga mengatakan bahwa dalam pembahasan RUU tersebut tidak dilibatkan atau dikonsultasikan pada masyarakat. Bahkan, KPK selaku pelaksana UU tidak dimintai pendapatnya.
"Ketiga, naskah akademik pun kita tidak pernah diperlihatkan. Apa kalianpernah membaca naskah akademik itu? Dan banyak lagi, bertentangan juga dengan aturan dalam hukum, dan UU tentang pembentukan peraturan perundang-undangan. Jadi banyak hal yang dilanggar. Itu dari segi formilnya," paparnya, Rabu (20/11/2019).
Dari segi materil, Laode mengatakan bahwa banyak pertentangan pada pasal-pasal seperti pasal 69D dan pasal 70C. Kesalahan ketik terkait usia pimpinan KPK juga menjadi persoalan yang tak luput dari perhatian.
Menurut Laode, ada kesalahan pengetikan tersebut dinilai bahwa pembahasan UU baru KPK tersebut terkesan buru-buru.
Laode mengaku bahwa permohonan uji materil dan formil ini selain atas nama pimpinan KPK seperti Agus Rahardjo dan Saut Situmorang, juga atas nama sejumlah mantan komisioner KPK.
Sementara komisioner KPK lainnya yakni Alexander Marwata dan Basaria Pandjaitan disebut hanya mendukung meskipun tak mencatutkan namanya secara langsung.
Selain tiga pimpinan KPK, mereka yang turut serta menjadi pemohon dalam gugatan ini adalah Erry Riyana Hardjapamekas (mantan komisioner KPK); Moch. Jasin (mantan komisoner KPK); Omi Komaria Madjid (istri pendiri Kampus Paramadina Nurcholish Madjid); dan Betty S Alisjahbana (mantan Pansel Capim KPK dan mantan Ketua Dewan Juri Bung Hatta Anti-corruption Award).
Kemudian, Hariadi Kartodihardjo (ahli kebijakan lingkungan); Mayling Oey (Guru Besar Ekonomi UI); Suarhatini Hadad (Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional); Abdul Ficar Hadjar (pakar hukum pidana Universitas Trisakti); Abdillah Toha (pendiri grup Mizan); serta Ismid Hadad (Ketua Dewan Pimpinan Yayasan Kehati).
Para pemohon juga menyiapkan 39 pengacara dalam menghadapi upaya judical review ke MK tersebut yang didampingi Tim Advokasi UU KPK.