Bisnis.com, JAKARTA - Direktur Utama PT Industri Telekomunikasi Indonesia (INTI) Darman Mappangara dilarang bepergian ke luar negeri.
Darman ditetapkan sebagai tersangka baru kasus dugaan suap proyek Baggage Handling System (BHS) di PT Angkasa Pura Propertindo yang dilaksanakan oleh PT INTI (Persero) tahun 2019.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan telah mengirimkan surat permintaan cegah ke Ditjen Imigrasi seiring proses penyidikan yang telah berjalan saat ini.
"Kami sudah mencegah tersangka DMP [Darman Mappangara] ke luar negeri selama enam bulan ke depan," ujar Febri dalam konferensi pers, Rabu (2/10/2019).
Dalam kasus ini, KPK sebelumnya telah menjerat mantan Direktur Keuangan Angkasa Pura II (Persero) Tbk. Andra Y. Agussalam dan Taswin Nur orang kepercayaan salah satu direksi PT INTI.
Kasus ini berawal dengan OTT KPK di Jakarta pada 31 Juli dan 1 Agustus 2019 dan mengamankan barang bukti berupa uang tunai sebesar SGD96.700 sebagai bagian transaksi suap.
Kontruksi perkara diawali ketika PT INTI mengerjakan beberapa proyek di PT AP II pada 2019, dengan rincian proyek Visual Docking Guidance System (VGDS) senilai Rp106,48 miliar; proyek Bird Strike sebesar Rp22,85 miliar; dan proyek pengembangan bandara dengan nilai Rp86,44 miliar.
Selain itu, PT INTI juga memiliki Daftar Prospek Project tambahan di AP II dan PT Angkasa Pura Propertindo dengan rincian proyek X-Ray 6 bandara sebesar Rp100 miliar; Baggage Handling System di 6 bandara senilai Rp125 miliar; proyek VDGS Rp75 miliar; dan proyek Radar burung senilai Rp60 miliar.
Menurut Febri, PT INTI diduga mendapatkan sejumlah proyek berkat bantuan tersangka Andra Agussalam yang saat itu menjabat Direktur Keuangan PT Angkasa Pura II.
"Tersangka AYA diduga menjaga dan mengawal proyek-proyek tersebut supaya dimenangkan dan dikerjakan oleh PT INTI," kata dia.
Febri berujar, penyidik KPK telah mengidentifikasi adanya komunikasi antara tersangka Darman dan Andra Agussalam terkait dengan pengawalan proyek-proyek tersebut.
"DMP juga memerintahkan TSW untuk memberikan uang pada AYA," kata Febri.
Tak hanya itu, lanjut dia, adanya sebuah kode "buku" atau "dokumen" serta aturan yang diberlakukan dalam proses suap ini.
Beberapa aturan yang diberlakukan dalam suap ini yaitu dalam bentuk tunai, jika jumlah besar menurutnya maka ditukar dengan dolar Amerika Serikat atau dolar Singapura yang menggunakan kode “buku” atau “dokumen” tersebut.
Febri mengatakan bahwa penerimaan uang diterima pada 31 Juli 2019, melalui Taswin Nur yang kemudian meminta sopir Andra Agussalam untuk menjemput uang yang disebut dengan kode “barang paket” di sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta Selatan dan berujung OTT pada Taswin dan sopir Andra.
"TSW kemudian memberikan uang sejumlah Rp1 miliar dalam bentuk 96.700 dolar Singapura, yang terdiri dari 96 lembar pecahan 1.000 [dolar Singapura] dan 7 lembar pecahan 100 [dolar Singapura]," kata Febri.
Darman dalam perkara ini disangkakan Pasal 5 ayat 1 huruf a atau huruf b atau pasal 13 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.