Bisnis.com, JAKARTA - Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman menunjuk Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Enny Nurbaningsih untuk mendampinginya memeriksa perdana perkara pengujian UU tentang Perubahan Kedua atas UU No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kebetulan, Wahiduddin dan Enny adalah ahli hukum di bidang pembentukan peraturan perundang-undangan. Keduanya mengajar mata kuliah perundang-undangan berturut-turut di Fakultas Hukum Universitas Islam Negeri Jakarta dan Universitas Gadjah Mada.
Tak hanya sebagai akademisi, keduanya juga memiliki pengalaman dalam penyusunan UU ketika menjabat di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham).
Wahiduddin adalah Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham periode 2010-2014, sedangkan Enny menduduki kursi Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kemenkumham sepanjang 2014-2018.
Ketika memeriksa perdana pengujian UU KPK hasil revisi, Senin (30/92019), Wahiduddin, Enny, dan Anwar memang menyoroti aspek formil pengajuan permohonan. Lagi pula, pemohon yang mayoritas mahasiswa memang menguji prosedur pembentukan UU KPK anyar.
Wahiduddin ‘menguliahi’ pemohon mengenai jenis revisi UU dalam sistem perundang-undangan di Indonesia. Dia menyebutkan UU KPK anyar berkategori perubahan UU yang mengubah pasal-pasal tertentu saja, bukan beleid bertipe penggantian.
Baca Juga
“Kalau perubahan pasal-pasal tertentu saja berlaku dua UU. Kalau perubahan sampai ketiga, ya tiga UU tetap berlaku,” katanya.
Wahiduddin juga mengingatkan kepada pemohon bahwa pembentukan UU KPK belum lengkap secara prosedur, tetapi sudah digugat ke MK. Padahal, UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mengamanatkan adanya proses perencanaan hingga pengundangan sebuah produk hukum.
“Setelah diundangkan ada nomor dan nomor lembaran negara, sedangkan tambahan lembaran negara untuk penjelasannya,” ujarnya.
Hakim Enny Nurbaningsih menambahkan bahwa nomenklatur sebuah UU yang diuji di MK harus jelas. Ketika MK membatalkan sebuah UU, nantinya tercantum pula lembaran negara atau tambahan lemaran negara mana yang dinyatakan tidak mengikat.
“Bagaimana pun juga MK tak mungkin memutus putusannya titik-titik [belum diisi nomor dan tahun],” katanya.
Panel Majelis Hakim Konstitusi beranggotakan minimal tiga orang. Mereka melaksanakan sidang pemeriksaan pendahuluan dan sidang perbaikan permohonan.
Hasil dari dua sidang tersebut kemudian dirembukkan bersama dengan enam hakim konstitusi lain dalam rapat permusyawaratan hakim (RPH). Jika sembilan hakim konstitusi sepakat permohonan memenuhi syarat formil maka perkara berlanjut ke tahap pemeriksaan dalam sidang pleno yang dihadiri minimal tujuh hakim konstitusi.
“Kami beri waktu paling lambat 14 Oktober untuk perbaikan,” kata Anwar.
Pengujian UU KPK hasil revisi diajukan oleh 18 pemohon perorangan yang mayoritas berstatus mahasiswa dari universitas berbeda. Mereka menguji konstitusionalitas prosedur pembentukan beleid kontroversial tersebut maupun substansinya.
“Generasi pemohon dan generasi selanjutnya tidak mendapatkan perlindungan hukum yang adil karena kami akan semakin kalah terhadap korupsi dalam perjuangan pemberantasan korupsi,” kata Zico Leonard Djagardo Simanjuntak, kuasa hukum pemohon, ketika menjelaskan kerugian konstitusional kliennya akibat pemberlakuan UU KPK anyar.