Bisnis.com, JAKARTA - Seperti sebuah ritual mingguan, aksi demonstrasi di Hong Kong telah berlangsung selama 13 pekan tanpa henti.
Para pendemo selalu memanfaatkan akhir pekan untuk menyuarakan aspirasi mereka. Dengan pola aksi, atribut dan tuntutan yang sama, mereka seperti sebuah orkestra yang tengah berhadapan dengan pusat pemerintahan di China daratan, tepatnya Beijing sebagai pusat kendali pemerintahan Partai Komunis yang berkuasa.
Hanya saja, aksi mereka kian lama kian nekat, hingga mulai berdampak pada sistem transportasi dan perekonomian salah satu pusat keuangan terbesar kawasan Asia itu.
Pada kuartal kedua tahun ini, misalnya, ekonomi wilayah khusus yang diserahan Inggris kembali ke China pada 1999 itu mengalami pertumbuhan minus 0,4 persen. Bukan tidak mungkin Hong Kong jatuh ke dalam resesi, kondisi ketika pertumbuhan ekonomi negatif selama dua kuartal atau lebih dalam satu tahun.
Polisi berusaha menenangkan mahasiswa dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang berunjuk rasa di depan Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (27/9/2019). Aksi itu menyikapi rangkaian peristiwa yang terjadi di Indonesia belakangan ini, khususnya kematian dua mahasiswa dalam demo di Kendari./Antara
Baca Juga
Beda Hong Kong, Beda Jakarta
Berbeda dari aksi demo mahasiswa di Jakarta dan beberapa daerah pada Selasa (24/9/2019) hingga Kamis (26/9/2019) pekan lalu yang menuntut pembatalan sejumlah RUU termasuk RUU KUHP dan RUU Pertanahan, aksi mereka tidak lain dari tuntutan tunggal. Mahasiswa Hong Kong menuntut pembatalan Rancangan Undang Undang (RUU) Ekstradisi.
Produk legislasi itu sebelumnya sempat dibahas di parlemen sebelum ditunda hingga waktu yang belum ditentukan.
Kepala Eksekutif Hong Kong, Carrie Lam sepertinya tidak kuat untuk mempertahankan RUU tersebut sehingga memperlunak sikapnya dengan menangguhkan sementara pembahasannya.
Aksi mahasiswa Hong Kong cukup berlasan. Pasalnya, undang-undang itu nantinya akan berisi aturan yang memungkinkan para kriminal Hong Kong dibawa ke China daratan untuk dieksekusi berdasarkan hukum Negeri Tirai Bambu tersebut.
Beda dan Persamaan
Kalau aksi demo di Jakarta mulai menunjukkan tanda-tanda berhenti, namun aksi di Hong Kong sepertinya akan berlanjut setiap akhir pekan seperti sebuah orkestra.
Bahkan, aksi mereka kian marak menjelang menjelang perayaan 70 tahun berdirinya Republik Rakyat China (RRC) pada 1 Oktober besok.
Diawali dengan penghancuran simbol-simbol otoritas negara China, termasuk bendera, terakhir aksi para mahasiswa mulai mengganggu sistem transportasi perkotaan seperti stasiun kereta api dan bandara.
Ribuan kertas dilipat oleh pengunjuk rasa anti-pemerintah untuk menyerukan reformasi politik di Hong Kong, Cina 29 September 2019./Reuters
Polisi Hong Kong pun terpaksa kembali melepaskan gas air mata dan menyemburkan water cannon untuk membubarkan demonstran anti-pemerintah.
Mereka kian tak terkendali dengan melemparkan batu, menghancurkan jendela dan memblokir jalan utama dekat markas besar Tentara Pembebasan China atau China's People's Liberation Army (PLA), Sabtu (28/9/2019).
Satu lagi, berbeda dari aksi mahasiswa di Jakarta yang banyak menggunakan jaket seragam almamater dari berbagai kampus, para pendemo Hong Kong kompak mengenakan pakaian hitam.
Mereka juga mengenakan masker dan payung untuk melindungi diri dari semburan air dan gas air mata.
Meski berbeda, setidaknya ada persamaan antara aksi mahasiswa di Hong Kong dengan saudara mereka di Jakarta, yakni soal tanggapan pemerintah.
Apa yang dilakukan Carrie Lam di Hong Kong dengan menerima tuntutan mahasiswa untuk menunda RUU Ekstradisi, di Jakarta Presiden Joko Widodo atas nama pemerintah bersama DPR juga menunda pemberlakuan sejumlah RUU termasuk RUU Pertanahan.