Bisnis.com, JAKARTA - Remaja Greta Thunberg bergetar suaranya oleh amarah. Ada air mata tipis menggenang. Pidatonya yang emosional di panggung Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York, AS, awal pekan ini, meriah oleh tepuk tangan. Anak itu seolah berteriak dan mendesak pada para pemimpin dunia, meminta seruannya didengar.
Selama setahun sebelumnya, kritisisme Thunberg telah mendapat tempat di hati masyarakat dunia. Pada Agustus 2018, remaja 16 tahun itu menginisiasi aksi bertajuk "Climate Strike", yang membuatnya memutuskan bolos sekolah pada hari Jumat untuk melancarkan demonstrasi di depan gedung Parlemen Swedia. Aksi ini kemudian dengan cepat menyebar ke penjuru dunia.
"Beraninya kalian! [para pemimpin dunia] Kita sedang berada di ambang pintu kepunahan massal. Sedangkan yang kalian bincangkan hanyalah uang dan bualan tentang pertumbuhan ekonomi," serunya.
Sementara itu, di seberang lautan, pada saat yang hampir bersamaan, demonstrasi pecah di berbagai daerah di Indonesia, dimotori anak-anak muda berjas almamater.
Remaja yang juga aktivis lingkungan dari Swedia Greta Thunberg berbicara di Montreal, Quebec, Kanada 27 September 2019./Reuters
Meski menyuarakan urgensi yang berbeda, para mahasiswa di Indonesia juga menuntut didengar oleh para pemimpin bangsa, setelah kontroversi pengesahan sejumlah revisi undang-undang, bencana kebakaran hutan, dan rasisme terhadap masyarakat Papua, tak selesai di ruang-ruang maya.
Di Senayan, lautan jas almamater berbaur dengan masyarakat, aktivis, juga wartawan, membawa 7 tuntutan dalam satu komando. Situasi ini mengingatkan pada romantisme kejatuhan Orde Baru oleh mahasiswa dan demonstran pada 1998.
Dukungan pun mengalir tak hanya di media sosial, tetapi di sepanjang jalan yang dilewati para demonstran. Gegap gempita itu juga seolah adalah bunyi alarm yang nyaring, menjadi pertanda kebakaran sedang terjadi pada anak kandung reformasi, yaitu demokrasi.
Aktivis lingkungan dan antikorupsi Rudolf Dethu mengatakan, anak muda dan mahasiswa yang sebelumnya banyak dicap tidak peka, ternyata menunjukkan hal sebaliknya.
"Mereka berkonsolidasi dan menunjukkan taring perlawanan," katanya.
Mahasiswa yang tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) menggelar aksi di Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Jumat (27/9/2019). Aksi itu untuk menyikapi rangkaian peristiwa yang terjadi di Indonesia belakangan ini, khususnya kematian dua mahasiswa dalam demo di Kendari./Antara
Anak-anak muda ini, lanjutnya, mengejutkan dan menunjukkan gaya berbeda dari generasi sebelumnya. Antara lain ditunjukkan dengan poster-poster aksi dengan kutipan nyeleneh, bernada galau kekinian, tetapi tetap satire dan tujuannya mengkritisi. Warganet pun menyambut gayung dengan ikut menyebarkan dan membuat meme-meme, disertai aneka tanda pagar dukungan.
Fenomena ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Menurut Rudolf, ada pertalian antara aktivisme dan budaya pop, terlebih aktor utamanya adalah kaum muda, yang menguasai sebagian besar sejarah aktivisme dan perlawanan.
Rudolf Dethu dikenal sebagai bekas manajer trio punk rock asal Bali, Superman Is Dead (SID). Dia juga lekat dengan sebutan propagandis musik. Dalam dunia aktivisme, Rudolf mulai aktif sejak sekitar satu dekade terakhir, saat memperjuangan UU Pornografi, 2007 hingga 2008. Ketika isu reklamasi Teluk Benoa muncul, dia terlibat dalam Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi (Forbali), hingga kini.
"Aktivisme itu umumnya terkesan kering dan kurang fun. Kala kita masukkan budaya populer ke dalamnya, maka segala kesan kering dan kurang fun bakal mencair," ujarnya.
Semisal saja, dengan kehadiran aktif dari para musisi tenar di gerakan Forbali, otomatis memunculkan kesan keren, dan anak-anak muda ingin terkoneksi dengan hal itu. Dia mengatakan, walau awalnya banyak yang tak paham dengan gerakan Forbali, tetapi seiring waktu anak-anak muda Pulau Dewata semakin mengerti, lalu justru banyak yang berakhir menjadi militan.
Dalam gerakan aktivismenya yang lain pun, Rudolf selalu menyelipkan unsur musik atau kesenian lain, untuk meluruhkan kesan kering dan kurang menyenangkan tadi. Selain itu, sekaligus juga sebagai hiburan, penurun tensi setelah dicekoki materi kajian yang berat.
Mahasiswa dari berbagai Universitas di Kota Sorong berunjuk rasa di kantor DPRD Kota Sorong, Papua Barat, Jumat (27/9/2019). Ratusan mahasiswa mengatasnamakan Aliansi Mahasiswa Peduli Demokrasi meminta DPRD Kota Sorong meneruskan tuntutan mereka terkait sejumlah persoalan diantaranya menolak RUU Pertanahan, kaji kembali pasal RKUHP Kontroversial, tuntaskan kebakaran hutan, tolak kenaikan iuran BPJS dan tuntaskan tuntutan masyarakat Papua./Antara
Upaya Konkret Pascaaksi
Namun demikian, aktivisme kaum muda tetap butuh disokong upaya lain selain di jalanan. Dari 7 tuntutan para demonstran, yang berada di poin pertama adalah mencabut RUU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang telah disahkan DPR.
Menurut Rudolf, isu ini harus terus didengungkan, sembari menyiapkan langkah lain, seperti judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).
"Mahasiswa dan aktivis selain terus beraksi di jalan dan media sosial, juga bisa berjuang ke MK," katanya.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati mengatakan saat ini pihaknya belum bisa melakukan upaya uji materi ke MK karena RUU KPK belum dicatatkan di lembar negara.
Namun, dia membuka kemungkinan bagi YLBHI dan para aktivis untuk melakukan langkah hukum tersebut.
"Sebenarnya masih ada cara [selain uji materi ke MK], yaitu yang membuat UU melakukan pencabutan melalui revisi atas revisi UU KPK. Tetapi ya kalau sudah jadi UU, kami akan pertimbangkan soal judicial review ini," ungkapnya.
Aktivisme yang digaungkan anak muda seperti Thunberg, juga mahasiswa Indonesia, seolah perwujudan dari nubuat sastrawan Pramoedya Ananta Toer. Dalam bukunya yang paling terkenal, "Bumi Manusia", Pram mengatakan, sejarah dunia adalah sejarah orang muda, jika angkatan muda mati rasa, maka matilah sejarah sebuah bangsa.
Maka, bernapaskan budaya pop, aktivisme akan berumur panjang mengiringi sejarah bangsa dan dunia. Panjang umur perjuangan!