Kabar24.com, JAKARTA — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menetapkan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi sebagai tersangka suap dana hibah KONI dan dugaan penerimaan gratifikasi terkait jabatan.
Imam ditetapkan sebagai tersangka bersama dengan asisten pribadinya, Miftahul Ulum, berdasarkan pengembangan kasus dana hibah Kemenpora ke KONI tahun 2018.
Imam diduga menerima total Rp26,5 miliar dengan rincian Rp14,7 miliar dari suap dana hibah Kemenpora ke KONI, dan penerimaan gratifikasi Rp11,8 miliar dari sejumlah pihak dalam rentang 2016-2018.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan penerimaan Imam Nahrawi diduga merupakan commitment fee atas pengurusan proposal hibah yang diajukan oleh pihak KONI kepada Kemenpora.
Selain itu, menurut Alex, penerimaan uang juga terkait dengan Ketua Dewan Pengarah Satlak Prima dan penerimaan lain yang berhubungan dengan jabatan Imam Nahrawi selaku Menpora.
"Uang tersebut diduga digunakan untuk kepentingan pribadi Menpora dan pihak Iain yang terkait," kata Alex dalam konferensi pers, Rabu (18/9/2019).
Dengan total penerimaan suap dan gratifikasi sebesar RP26,5 miliar, Imam diketahui memiliki harta kekayaan sebesar Rp22.640.556.093 berdasarkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang dilapor pada 31 Maret 2018.
Harta tersebut terbagi atas harta bergerak dan tak bergerak yaitu terdiri dari 12 bidang tanah yang tersebar di sejumlah daerah yakni, Sidoarjo, Bangkalan, Surabaya, Jakarta, dan Malang dengan total nilai mencapai Rp14.099.635.000.
Imam juga tercatat memiliki empat kendaraan roda empat yang terdiri dari Minibus Hyundai, Mitsubishi Pajero, Toyota Kijang Innova, dan Toyota Alphard, dengan total mencapai Rp1.700.000.000.
Harta bergerak lainnya tercatat sebesar Rp4.634.500.000 ditambah surat berharga senilai Rp463.765.853, serta kas dan setara kas senilai Rp1.742.655.240.
Perkara Imam Nahrowi diawali ketika dana hibah dari Kemenpora untuk KONI yang dialokasikan adalah sebesar Rp 17,9 miliar. Diduga KONI pada tahap awal mengajukan proposal kepada Kemenpora untuk mendapatkan dana hibah tersebut.
Alex mengatakan pengajuan dan penyaluran dana hibah tersebut diduga sebagai akal-akalan dan tidak didasari kondisi yang sebenarnya.
"Sebelum proposal diajukan, diduga telah ada kesepakatan antara pihak Kemenpora dan KONI untuk mengalokasikan fee sebesar 19,13% dari total dana hibah Rp17,9 miliar, yaitu sejumlah Rp3,4 miliar," kata Alex.
Proses penyelidikan Imam sudah dilakukan KPK sejak 25 Juni 2019 dan dinaikan ke tahap penyidikan pada 28 Agustus. KPK juga telah melakukan pemanggilan Imam Nahrawi sebanyak tiga kali.
Namun, Imam tidak menghadiri permintaan keterangan tersebut yang dilakukan pada pada 31 Juli 2019, 2 Agustus 2019 dan 21 Agustus 2019.
"Penyidikan mulai dilakukan sejak 28 Agustus 2019. Ada sejumlah kegiatan yang dilakukan Penyidik selama waktu tersebut, termasuk pemeriksaan dan penahanan MIU [Miftahul Ulum]," ujar Juru bicara KPK Febri Diansyah.
Febri juga mengatakan bahwa penyidikan tersebut dilakukan sebelum Revisi UU KPK yang telah disahkan di Paripurna DPR.
"Karena memang hasil penyelidikan sudah menyimpulkan bukti permulaan yg cukup telah terpenuhi."
Kasus dana hibah KONI juga diawali dengan operasi tangkap tangan pada 18 Desember 2018 dan mengamankan uang tunai di kantor KONI sebesar Rp7,4 miliar. Kemudian, KPK menetapkan lima orang sebagai tersangka.
Mereka adalah Sekjen KONI Ending Fuad Hamidy, Bendahara Umum KONI Johny E. Awuy, Deputi IV Kementerian Pemuda dan Olahraga Mulyana, PPK Kemenpora Adhi Purnomo, Staf Kemenpora Eko Triyanto.
Sekjen KONI Ending telah divonis 2 tahun 8 bulan penjara, Bendahara KONI Johny Awuy divonis 1 tahun 8 bulan, Mulyana divonis 4,6 tahun, sedangkan Adhi dan Eko divonis 4 tahun penjara.
Imam dan Miftahul disangka melanggar pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 12 huruf B atau Pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.