Bisnis.com, JAKARTA – Status sekolah unggulan yang disandang beberapa lembaga pendidikan formal tidak muncul tanpa alasan. Sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) berdasarkan ranking menjadi salah satu penyebab munculnya sekolah dengan label unggulan.
Kenyataan itu diungkap Anggota Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah (BAN S/M) Itje Chodidjah. Menurutnya, predikat unggulan pada awalnya muncul karena beberapa sekolah yang berdiri sejak lama dianggap memiliki fasilitas dan guru lebih berkualitas.
Pandangan itu muncul karena, menurut dugaannya, sempat ada guru atau kepala sekolah di sejumlah lembaga pendidikan yang membuat sekolah tertentu bagus kualitasnya. Karena dianggap lebih bagus, maka masyarakat berbondong-bondong ingin mendaftarkan anaknya sekolah di sana.
“Lantas dicarilah cara agar menyaring [calon peserta didik]. Cara menyaring yang paling gampang adalah [membedakan calon siswa] yang pintar dan tidak pintar, lupa bahwa itu menimbulkan segregasi sosial,” ujar Itje di kantor Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Jakarta Pusat, Rabu (19/6/2019).
Oleh karena sistem PPDB berdasarkan nilai Ujian Nasional (UN) sempat lama diterapkan, hal itu membuat predikat unggulan dimiliki sejumlah sekolah. Padahal, sejak awal pemerintah tidak berniat membeda-bedakan sekolah unggulan dan nonunggulan.
Selama ini sekolah unggulan identik bisa dimasuki calon peserta didik yang pintar atau berlatarbelakang ekonomi menengah ke atas. Hal itu dianggap sebagai bentuk ketidakadilan.
Karena itu, BAN S/M mendukung kebijakan pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sejak 2017 yang menerapkan PPDB dengan sistem zonasi. Dengan sistem ini, lembaga pendidikan diwajibkan memprioritaskan penerimaan peserta didik berdasarkan jarak dari rumah ke sekolah.
“Kita bicara sekolah yang didanai uang rakyat. Jadi, kalau dilakukan penyaringan hanya anak pintar yang boleh masuk sekolah favorit, ini melanggar keadilan,” ujarnya.
Penerapan PPDB dengan sistem zonasi sejak 2017 banyak mendapat tentangan masyarakat. Menurut Itje, para pemrotes kebijakan itu bisa jadi adalah masyarakat yang selama ini diuntungkan dengan sistem ranking, dan merasa anak-anaknya berhak sekolah di lembaga pendidikan yang sudah mapan.
Dengan sistem saat ini, sekolah harus menerima peserta didik berdasarkan indikator zonasi dengan kuota minimal 90 persen, prestasi 5 persen, dan perpindahan 5 persen.
Itu artinya, 90 persen calon peserta didik yang akan diterima sekolah dihitung berdasarkan jarak dari rumah ke sekolah, atau kombinasi penilaian jarak serta nilai UN.
Itje menjelaskan belum tentu semua sekolah unggulan menyandang akreditasi A dari BAN S/M. Hingga kini, baru ada 25 – 35 persen sekolah yang mendapat akreditasi A dari BAN S/M.
Dia mengutarakan ada sejumlah indikator yang digunakan BAN S/M saat melakukan akreditasi sekolah atau madrasah. Beberapa indikator itu di antaranya yakni penilaian standar sarana dan prasarana, tenaga pendidik dan sarana pendidik, standar proses, standar pembiayaan, standar pengelolaan, isi, dan evaluasi.
“Semua [indikator] dikeluarkan Badan Nasional Standarisasi Pendidikan. Proses akreditasi dilakukan di semua wilayah, dan asesor (penilai) itu yang melihat sendiri apa yang terjadi di sana [sebuah sekolah],” ujarnya.