Bisnis.com, JAKARTA -- Nama Front Pembela Islam (FPI) selalu membawa pro dan kontra di masyarakat. Bukan hanya kiprah organisasi masyarakat (ormas) itu yang seringkali kontroversial, tapi pimpinannya pun tak jarang bertindak serupa.
Beberapa waktu lalu, muncul petisi yang meminta pemerintah, dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), untuk tidak memperpanjang Surat Keterangan Terdaftar (SKT) FPI--yang akan habis pada 20 Juni 2019.
Kemendagri menyatakan jika sebuah ormas tak memiliki izin, maka organisasi terkait tak akan mendapat pelayanan pemerintah serta peluangnya memperoleh hibah dari pemerintah pun hilang.
Namun, ada pula petisi yang mendukung FPI untuk tetap hadir di Indonesia. Alasannya, ormas itu turut berkontribusi positif terhadap masyarakat, contohnya membantu korban bencana alam.
Belum habis "adu kuat" antar dua petisi itu, muncul petisi yang meminta status kewarganegaraan Imam Besar FPI Habib Rizieq Shihab dicabut. Sama seperti dua petisi terkait FPI sebelumnya, petisi ini dibuat di platform Change.org.
Baca Juga
Front Pembela Islam (FPI)./Istimewa
Dalam petisi berjudul "Cabut Status WNI Rizieq Shihab" itu, Rizieq dianggap sebagai orang berbahaya karena dikenal sebagai pentolan ormas FPI. Pembuat petisi, yang menggunakan nama 7inta Putih, menganggap pemerintah tak hanya perlu membubarkan ormas Rizieq yakni FPI, tapi harus mencabut kewarganegaraan Rizieq.
"Segala kebijakan ada pada Pemerintah, dan jikalau Petisi ini didengarkan, pasti ada Tim Ahli yang mengkaji bagaimana caranya untuk memenuhi prosedur pencabutan terhadap Status WNI seorang Rizieq Shihab yang nyata-nyata sebagai musuh Negara, pendukung ISIS dan perusak NKRI," tulis petisi tersebut, seperti dikutip Bisnis, Senin (10/6/2019).
Hingga Rabu (12/6) pukul 10.23 WIB, petisi yang dibuat sekitar sebulan lalu itu telah ditandatangani 91.061 orang. Keberadaan petisi ini juga telah mendapat tanggapan FPI.
Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) FPI DKI Jakarta Muchsin Alatas menyebut petisi tersebut baiknya dibiarkan saja.
"Biar sajalah, kita kalau yang begini-begini tidak ada habisnya," ujar Muchsin, Sabtu (8/6).
Hingga saat ini, Rizieq masih berada di Arab Saudi sejak ditetapkan sebagai tersangka kasus pornografi pada 2017. Adapun penyidikannya telah dihentikan pada tahun lalu.
Tanggapan juga diberikan pemerintah. Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo menyatakan tuntutan pencabutan kewarganegaraan bukanlah urusannya. Dia menyarankan agar pertanyaan seputar petisi itu dialamatkan ke Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham).
Tetapi, Kemendagri tetap bersuara atas permintaan agar pemerintah mencabut izin operasi FPI sebagai ormas.
Direktur Jenderal (Dirjen) Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri Soedarmo mengungkapkan hingga saat ini, belum ada pengajuan izin baru dari FPI ke kementeriannya. Padahal, izin operasional FPI sebagai ormas akan habis masa berlakunya pada pekan depan.
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo./ANTARA
“Kalau ormas dapat SKT, mereka ada pelayanan dari pemerintah. Ada hal-hal yang bisa dikerjakan sama dengan pemerintah, misalnya untuk pembinaan, kerja sama kegiatan, dapat hibah. Kalau ormas enggak dapat SKT, mereka tidak mendapatkan fasilitas dari pemerintah,” paparnya.
Sementara itu, Kemenkumham melalui Kepala Sub Bagian (Kasubbag) Humas Direktorat Jenderal (Ditjen) Imigrasi Sam Fernando menerangkan tidak ada praktik pencabutan kewarganegaraan di Indonesia.
Dia menjelaskan Indonesia hanya mengenal praktik kehilangan kewarganegaraan. Hal itu bisa terjadi jika orang tertentu melanggar sejumlah ketentuan yang diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 2007 tentang Tata Cara Memperoleh, Kehilangan, Pembatalan, dan Memperoleh Kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia.
“Tidak ada yang namanya pencabutan kewarganegaraan, yang ada hanya kehilangan kewarganegaraan,” ujar Fernando kepada Bisnis.
Hilangnya Kewarganegaraan
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara mengatakan kewarganegaraan seseorang pada dasarnya tidak bisa dicabut negara. Sebab, kewarganegaraan merupakan hak asasi tiap manusia.
"Kewarganegaraan enggak bisa dicabut, kalau kehilangan bisa," ucapnya kepada Bisnis.
Anggara menjadikan PP 2/2017 sebagai dasar berargumen. Dalam aturan itu disebutkan sembilan sebab seseorang bisa kehilangan kewarganegaraan.
Pertama, seseorang bisa hilang kewarganegaraannya jika memperoleh status warga negara lain atas kemauannya sendiri.
Kedua, apabila orang terkait tak menolak atau melepaskan kewarganegaraan lain, sedangkan yang bersangkutan mendapat kesempatan untuk itu. Ketiga, jika orang itu masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin Presiden.
Keempat, apabila seseorang secara sukarela masuk dinas negara asing, yang jabatan dalam dinas semacam itu di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan hanya dapat dijabat Warga Negara Indonesia (WNI).
Kelima, jika orang terkait secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada negara asing atau bagian dari negara asing tersebut. Keenam, jika ada orang yang tidak diwajibkan tetapi turut serta dalam pemilihan sesuatu yang bersifat ketatanegaraan untuk negara asing.
Massa Front Pembela Islam (FPI) melakukan longmars menuju Bareskrim dan Balai Kota DKI Jakarta di Jakarta, Jumat (14/10/2016)./ANTARA
Ketujuh, status warga negara bisa hilang jika ada orang yang mempunyai paspor atau surat yang bersifat paspor dari negara asing, atau surat yang dapat diartikan sebagai tanda kewarganegaraan yang masih berlaku dari negara lain atas namanya.
Kedelapan, apabila orang tinggal di luar Indonesia selama 5 tahun secara terus menerus bukan dalam rangka dinas negara, tanpa alasan yang sah, dan sengaja tidak menyatakan keinginannya untuk tetap menjadi WNI sebelum jangka waktu itu berakhir.
Terakhir, apabila seorang WNI mengajukan permohonannya sendiri untuk melepas kewarganegaraan ke Presiden, apabila yang bersangkutan sudah berusia 18 tahun atau sudah kawin, bertempat tinggal di luar negeri, dan dengan dinyatakan hilang Kewarganegaraan Republik Indonesia tidak menjadi tanpa kewarganegaraan.
Anggara berpendapat negara tak perlu mendapat izin agar bisa mencabut status warga negara seseorang. Sebab, praktik itu dianggapnya tidak bisa dibenarkan untuk alasan apapun.
"Dulu waktu pembahasan RUU Perubahan Terorisme ada wacana pencabutan kewarganegaraan dan itu akhirnya ditolak DPR. Untuk alasan apapun, tidak dibenarkan pencabutan kewarganegaraan," katanya.