Bisnis.com,JAKARTA - Aksi teroris dinilai berpotensi terjadi pada 22 Mei 2019 bertepatan dengan hari pengumuman hasil pemilihan umum.
Analis intelijen Stanislaus Riyanta mengatakan bahwa, mendekati pengumuman hasil Pemilu Serentak 2019, Tim Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror selama Mei 2019 telah menangkap 29 orang yang diduga sebagai teroris.
Dari jumalah tersebut, 18 orang ditangkap di Jakarta, Bekasi, Karawang, Tegal, Nganjuk, dan Bitung di Sulawesi Selatan. Sisa 11 orang lainnya ditangkap di sejumlah lokasi di Pulau Jawa, dan 9 dari 11 orang tersebut adalah anggota JAD. Penangkapan 11 tersangka ini disertai barang bukti berupa 1 pucuk senapan angin, 5 kotak peluru, dan satu pisau lempar.
"Teroris akan melakukan aksi teror dengan menggunakan bom sebagai aksi amaliah dengan menyerang kerumunan massa pada 22 Mei 2019. Alasan teroris akan melakukan aksi teror pada 22 Mei 2019 karena ada momentum yang dianggap tepat untuk beraksi, yaitu berkerumunnya orang sebagai target, dan pelaksanaan Pemilu sebagai pesta demokrasi yang dianggap berlawanan dengan paham yang dimiliki oleh teroris," ujarnya, Jumat (17/5/2019).
Menurutnya, dari catatan yang diperoleh dari Polri, selama 2019 ini sebanyak 68 terduga teroris telah ditangkap, yang terdiri dari 4 tersangka ditangkap pada Januari, 1 tersangka pada Februari, 20 tersangka pada Maret, 14 tersangka pada April, dan 29 tersangka pada Bulan Mei. Penangkapan tersebut mengakibatkan 8 orang meninggal yang salah satunya adalah pelaku yang meledakkan diri di Sibolga.
Rangkaian penangkapan tersebut, lanjutnya, menimbulkan kekhawatiran dan pertanyaan. Salah satu bukti kekhawatiran yang muncul adalah peringatan keamanan yang dikeluarkan oleh Amerika Serikat terhadap warganya terkait dengan pengumuman hasil resmi Pemilu Indonesia dengan risiko adanya terorisme.
"Kemudian pertanyaan yang muncul adalah mengapa terorise akan melakukan aksi pada kegiatan Pemilu," tanya dia.
Teroris, katanya, tidak mempunyai hubungan langsung dengan kelompok politik di Indonesia, namun teroris mempunyai kepentingan untuk menentang demokrasi. Aksi teror mereka pada momentum Pemilu selain sebagai bentuk perlawanan terhadap negara, juga karena pertimbangan strategis memanfaatkan kerawanan yang ada.
Kerawanan itu antara lain adanya kerumunan massa, daya tarik publikasi yang tinggi, dan peluang kelengahan aparat keamanan karena skala kegiatan yang cukup besar. Kerawanan-kerawanan inilah yang dimanfaatkan oleh kelompok teror, sehingga peluang keberhasilan aksi mereka lebih besar.
Dia mengatakan, banyaknya teroris yang ditangkap akhir-akhir ini juga dipengaruhi dengan membaiknya regulasi yaitu UU No 5 Tahun 2018 tentang Terorisme yang memberikan kewenangan lebih luas bagi aparat keamanan untuk melakukan pencegahan. Penyebab lain yang bersifat global adalah terdesaknya ISIS di Suriah yang mengakibatkan para simpatisan dan kombatan yang berasal dari berbagai negara kembali ke negara asalnya atau mencari tempat lain untuk sasasaran aksinya. Afganistan dan Asia Tenggara diperkirakan menjadi tempat alternatif selain Suriah untuk perekrutan dan sasaran aksi. Hal inilah yang menjadi dasar analisis bahwa saat ini ancaman terorisme di Indonesia masih cukup kuat.
Aksi teror yang akan dilakukan pada rangkaian kegiatan Pemilu 2019 menurutnya bukan sekedar isapan jempol. Namun tentu saja berbagai upaya bisa dilakukan untuk mencegah aksi teror tersebut terjadi, salah satunya dengan tidak memberikan arena kepada kelompok teroris tersebut.
"Dengan tidak ada kerumunan massa dan konsentrasi aparat keamanan di titik-titik tertentu, maka kerawanan akan semakin kecil dan peluang teroris untuk beraksi menjadi lebih kecil," ujar mahasiswa progran doktor Universitas Indonesia ini.