Kabar24.com,JAKARTA — Indonesia for Global Justice (IGJ) menyambut baik penolakan permohonan Annulment Award Churcill Mining atas putusan Arbitrase Internasional yang kedua pada tahun ini.
Dalam putusan International Centre for Settlement of Investment Disputes (Icsid) sebelumnya, pada 22 Desember 2016, Majelis Arbitrase tidak menerima gugatan Churchill dikarenakan 34 dokumen perizinan tambang yang dijadikan dasar sengketa oleh Churchill dianggap tidak otentik dan tidak sah.
Hal itu karena, 34 dokumen perizinan tambang tersebut merupakan hasil dari pemalsuan dan penipuan oleh pihak Ridlatama, selaku mitra bisnis dari Churchill. Churchill dianggap mengetahui tindakan ini, sehingga ada iktikad tidak baik dari Churchill dalam proses pengajuan gugatan tersebut.
Lalu, pada Maret 2019, majelis kembali menolak gugatan arbitrase yang kembali diajukan oleh penguggat yang sama.
Direktur Eksekutif IGJ, Rachmi Hertanti, menyampaikan bahwa kemenangan Indonesia atas gugatan Churcill Mining dan Planet Mining ini harus dijadikan pelajaran oleh Pemerintah Indonesia atas pengikatan diri Indonesia kepada berbagai perjanjian perlindungan investasi internasional, baik di bawah Bilateral Investment Treaty (BIT) ataupun FTA/CEPA.
Regulasi itu memuat Bab Perlindungan Investasi, atau Kontrak Investasi yang memuat ketentuan mengenai mekanisme gugatan investor terhadap negara atau dikenal dengan Mekanisme Investor-State Dispute Settlement (ISDS).
“Semakin banyak BIT atau CEPA dengan ISDS Mechanism yang ditandatangani Pemerintah Indonesia maka akan semakin membuka eksposure gugatan investor terhadap Indonesia. Sehingga pemerintah Indonesia harus tetap berhati-hati dengan model perjanjian investasi internasional semacam ini,” ujarnya, Kamis (28/3/2019).
Rachmi menjelaskan mekanisme ISDS akan membuat Indonesia mudah diancam oleh investor asing jika ada regulasi nasional yang dianggap investor merugikan mereka. Apalagi terbukanya mekanisme ISDS dapat digunakan oleh investor asing manapun, termasuk investor yang tidak beritikad baik. Dan ini tentunya akan merugikan Indonesia dengan menghadapi gugatan di arbitrase internasional.
Pengalaman dari total kasus gugatan investor asing terhadap Indonesia yang disebabkan oleh BIT 50% ada disektor tambang, yakni kasus Churcill Mining dan Planet Mining (2012), Newmont Nusantara BV (2014), dan India Metal Ferro Alloys (2017). Nilai gugatan investor tertinggi diajukan oleh Churchill Mining terhadap Indonesia yakni sebesar US$ 1 miliar.
“Persoalan tata kelola tambang dan perizinan menjadi celah bagi masuknya gugatan investor kepada Indonesia, akibat carut marutnya mekanisme perizinan tambang kita”, tambahnya.
Perlu dicatat, gugatan investor asing terhadap Pemerintah Indonesia, khususnya Churcill Mining, Planet Mining, dan IMFA itu didasari oleh Bilateral Investment Treaty (BIT) antara Indonesia dengan Inggris, Australia, dan India.
Menurutnya,banyak persoalan mengenai regulasi nasional Indonesia, tetapi keberadaan mekanisme ISDS di dalam perjanjian investasi internasional yang ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia, akan semakin membuat peluang Indonesia untuk dapat digugat oleh investor asing di arbitrase internasional.