Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah Australia mengimbau warganya yang berada di luar negeri termasuk Indonesia untuk waspada usai aksi penembakan di dua masjid di Christchurch, Selandia Baru pada Jumat (15/3/2019).
Disebutkan terdapat sejumlah kelompok radikal yang mengancam akan melakukan aksi balasan atas serangan yang memakan korban mayoritas Muslim itu.
Hal ini diungkapkan Duta Besar Australia untuk Indonesia Gary Quinlan saat menemui sejumlah petinggi Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Jakarta, Selasa (19/3/2019).
Quinlan mengakui terdapat sejumlah kelompok yang menyatakan akan membalas penembakan Christchurch yang dilakukan seorang warga Australia, Brenton Tarrant.
Dubes Australia untuk Indonesia Gary Quinlan minta warga Australia waspada atas serangan balasan terkait tragedi Christchurch/Bisnis-Iim Fathimah Timorria
"Kami menyadari akan ancaman seperti itu. Kami telah mengimbau warga Australia di luar negeri untuk waspada akan ancaman terorisme, tak hanya di Indonesia," kata Quinlan.
Baca Juga
Kekhawatiran akan serangan balasan yang menyasar warga Australia ini terkuak dari laporan SITE Intelligence Group beberapa hari usai serangan Christchurch.
Dalam laporannya, mereka menyebutkan terdapat sel-sel kelompok ektremis di Indonesia yang diduga berkaitan ISIS menyerukan serangan balasan terhadap turis Australia.
Seruan aksi balasan ini muncul bersamaan setelah senator Australia asal Queensland Fraser Anning mengeluarkan pernyataan rasis soal insiden di Christchurch.
Dalam pernyataannya, Anning menilai peristiwa itu terjadi karena Selandia Baru dan Australia melonggarkan kebijakan imigrasi yang memungkinkan orang-orang dari negara yang berpenduduk Muslim masuk ke negara itu.
Anning menyebutkan serangan yang terjadi adalah buah dari ketakutan yang semakin besar atas kehadiran Muslim yang meningkat di Australia dan Selandia Baru.
"Kami menaruh perhatian terhadap hal ini. Otoritas Indonesia juga terus mengawasi dan menyediakan dukungan yang besar untuk menjamin aktivitas demikian tak terjadi," papar Quinlan.
Berkenaan dengan ancaman ekstremisme sayap kanan yang diduga berada di balik aksi serangan Christchurch, Quinlan mengakui bahwa hal tersebut menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintahnya. Pasalnya, berbeda dengan gerakan radikal Islam yang berkembang, ekstremis sayap kanan biasanya bekerja sendiri dan tak terlibat dengan jaringan tertentu, seperti pada kasus Brenton Tarrant sang pelaku teror Christchurch.
"Bagaimana Anda memprediksi aksi lone wolf? Sangat sulit bagi negara mana pun [untuk menangkalnya]," ujar Quinlan.
Pada kesempatan yang sama, Quinlan juga mengemukakan keyakinannya pada kapabilitas otoritas Indonesia untuk menangkal aksi terorisme. Kemampuan itu, ungkapnya, telah menjadi jaminan bagi keselamatan warga Australia yang berada di Indonesia.
"Saya harus akui efektivitas upaya pemberantasan terorisme di Indonesia yang dilakukan dalam beberapa dekade terakhir. Indonesia telah mengembangkan kapasitas yang maju dan mandiri. Hal itu kami [Australia] ketahui dan kami bergantung padanya," ucap Quinlan.