Bisnis.com, JAKARTA - Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern menyatakan bahwa kabinetnya telah menyepakati sejumlah prinsip dasar untuk memperketat aturan senjata menyusul aksi teror di Christchurch yang terjadi pada Jumat (15/3/2019) lalu.
"Kami telah mencapai kesepakatan sebagai kabinet, kami bersatu," kata Ardern setelah melakukan pertemuan rutin dengan kabinetnya, Senin (18/3/2019).
Ia mengatakan kabinetnya bakal menyusun revisi aturan tersebut dan mengumumkan rinciannya sebelum rapat kabinet pada Senin pekan depan. Ia juga memberi sinyal dukungan terhadap pelarangan senjata semi otomatis, jenis senjata yang digunakan oleh pelaku penembakan Christchurch.
"Hal ini berarti dalam 10 hari setelah aksi teror mengerikan kami akan mengumumkan revisi aturan yang saya yakini bakal membuat masyarakat kita lebih aman," paparnya.
Aksi teror di Christchurch merupakan penembakan massal terburuk dalam sejarah modern Selandia Baru. 50 orang dipastikan tewas dalam penembakan tersebut dan 50 lainnya mengalami luka-luka. Sang pelaku, warga Australia berusia 28 tahun, Brenton Tarrant pada Sabtu (16/3/2019) telah didakwa dengan pembunuhan. Ia bakal kembali diadili pada 5 April mendatang dengan kemungkinan bakal menerima dakwaan tambahan.
Selandia Baru tercatat pernah memperketat aturan kepemilikan senjata api pada 1992, dua tahun setelah seorang pria menembak 13 orang di kawasan Aramoana. Kendati demikian, undang-undang senjata Selandia Baru saat ini relatif permisif. Sebagian besar masyarakat yang mengajukan izin kepemilikan senjata biasanya akan mendapat lisensi dari otoritas setempat. Radio New Zealand melaporkan 99 persen permohonan izin kepemilikan senjata pada 2017 dikabulkan.
Berdasarkan aturan tersebut, warga berusia di atas 16 tahun bisa mengajukan izin kepemilikan senjata api. Izin tersebut berlaku selama 10 tahun setelah pemohon melewati ujian keselamatan dan pengecekan latar belakang oleh otoritas. Selain itu, Selandia Baru hanya mencatat warganya yang berstatus pemilik, bukan jumlah senjata yang dimiliki.