Bisnis.com, JAKARTA – Lebih dari setengah juta daftar pemilih tambahan terancam tidak bisa mendapatkan hak pilih. Hal ini dinilai memerlukan terobosan.
Baca Juga
Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Viryan Aziz mengatakan ada dua pilihan yang bisa dilakukan, yaitu melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) atau uji materi (uji materi).
“Perppu jadi domain pemerintah. Kemudian, mungkin ada warga negara yang statusnya DPTb [daftar pemilih tambahan] khawatir hak pilihnya hilang itu bisa mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK),” paparnya di Gedung KPU, Jakarta, Jumat (22/2/2019).
Viryan menjelaskan bahwa publik yang masuk DPTb dapat mengajukan uji materi Pasal 344 ayat 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Di situ tertera setiap Tempat Pemungutan Suara (TPS) maksimal menyediakan surat suara cadangan sebanya 2% dari pemilih tetap.
Masalahnya adalah berdasarkan hasil rekapitulasi DPTb terbaru, mereka terkonsentrasi di satu wilayah dalam jumlah besar. Lokasinya berada di tempat pendidikan, perusahaan, dan lembaga pemasyarakatan.
Contohnya di Teluk Bintuni, Papua Barat. Di sana ada perusahaan yang lokasinya agak jauh dari pemukiman masyarakat dengan jumlah pegawai sekitar 8.000 orang yang terdiri atas 1.000 lebih warga setempat dan 6.000 lebih warga luar daerah tersebut.
“Tidak mungkin 6.000-an orang itu bisa didistribusikan ke TPS terdekat. Begitu pula yang terjadi dengan pondok pesantren di Jawa Timur (Jatim) atau Jawa Tengah (Jateng),” jelasnya.
Oleh karena itu, butuh perlakuan khusus bagi mereka. Viryan menuturkan pihaknya sudah berkomunikasi dengan pemerintah, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk mencari solusi.
“Pertama, untuk memasukkan ke DPT tidak mungkin untuk kondisi seperti itu. Kedua, surat suaranya juga sulit bisa kita jamin. Sementara itu, KPU mendapatkan amanah harus dapat melayani hak pilih warga negara,” ucapnya.
Berdasarkan data KPU, DPTb paling banyak berada di Jatim dengan jumlah kurang lebih 60.000 pemilih, lalu Jateng 40.000, dan terakhir Jawa Barat (Jabar) 11.000 jiwa.