Kabar24.com, JAKARTA — Pemilih dinilai masih toleran dengan partai politik yang mengusung calon anggota legislatif mantan terpidana kasus korupsi karena secara aturan mantan terpidana itu masih diperbolehkan mencalonkan diri.
Direktur Eksekutif Indonesia Political Review Ujang Komarudin mengatakan bahwa masih banyaknya partai politik (parpol) bertahan dengan elektabiltas tinggi kendati caleg yang diusung memiliki persoalan korupsi masa lalu, menunjukan publik tidak peduli dengan para caleg.
"Pemilih masih toleran terhadap money politics. Artinya masih toleran terhadap korupsi. Jadi, walaupun partai besar kader-kadernya banyak yang melakukan korupsi, tetap dipilih. Jadi mantan napi [koruptor] jadi caleg pun pasti akan dimaklumi. Apalagi dalam UU, mantan napi boleh menjadi caleg," ujarnya, Rabu (21/2/2019).
Kendati demikian, Ujang masih berharap parpol dengan sedikit mantan narapidana kasus korupsi atau bahkan nihil seperti Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dan Partai Nasional Demokrat (Nasdem), dianggapnya bisa menjadi salah satu indikator pemilih untuk memprioritaskan partai tersebut. Asalkan, didukung pula dengan strategi lain yang bisa mengambil hati masyarakat, sehingga sanggup mendongkrak elektabilitas.
"Sulit mencari partai yang bersih. Jika ada partai yang bersih, dan itu betul-betul bersih, maka akan banyak pemilih yang mendukung. Bisa saja, preferensi pemilih ditentukan oleh bersih atau tidaknya partai politik," ungkapnya.
Peneliti Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA Adjie Alfaraby percaya publikasi caleg koruptor akan merugikan citra partai dan menekan elektabilitasnya.
Tetapi, Adjie menggarisbawahi sebenarnya dirinya menilai bukan ranah KPU untuk mengumumkan status mantan napi korupsi tersebut. Harusnya menjadi ranah publik dan partai yang berkompetisi untuk mengungkap trackrecord masing-masing caleg.